Kamis, 20 September 2018

MAKALAH PENELITIAN TINJAUAN YURIDIS DAN EMPIRIS PERIHAL INDIKATOR PENGHITUNGAN UPAH MINIMUM DAN EFEKTIFITAS PENERAPANNYA DALAM SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA

MAKALAH PENELITIAN
TINJAUAN YURIDIS DAN EMPIRIS PERIHAL INDIKATOR PENGHITUNGAN UPAH MINIMUM DAN EFEKTIFITAS PENERAPANNYA DALAM SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA
(DILIHAT DARI UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PP NO. 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN)
STUDI KASUS: PERUSAHAAN MANUFAKTUR MOBIL ASAL JEPANG

SEKOLAH TINGGI HUKUM JENTERRA

Disusun oleh:
Debby Thalita Nabila P
(101160005)

Devy Kusuma Wati
(101160006)

Fitriah

(101160009)
M Arif Hidayah
(101160014)

Surti Handayani
(101160019)


HUKUM PERBURUHAN
SEKOLAH TINGGI HUKUM INDONESIA JENTERA 2018

BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
1.    Apa itu upah?
Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) dan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan (selanjutnya disebut PP Pengupahan) mendefinisikan upah sebagai “hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.
Pada pasal tersebut, terlihat setidaknya ada 5 unsur definisi upah, antara lain:
  1. hak pekerja/buruh;
  2. diberikan dalam bentuk uang;
  3. termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya;
  4. diberikan sebagai imbalan dari pemberi kerja atas pekerjaan dan/atau jasa yang dilakukan pekerja/buruh;
  5. penetapan besaran dan pembayarannya berdasarkan perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan;
Singkatnya jika ditarik dalam kerangka hubungan hukum antara pekerja dengan pemberi kerja, maka akan terlihat suatu hak dan kewajiban yang mereka pikul masing-masing. Dalam hal ini, pekerja berdasarkan perjanjian kerja dengan pemberi kerja memiliki kewajiban untuk melakukan suatu pekerjaan dan/atau jasa, sehingga menimbulkan kewajiban bagi pihak lain yaitu pemberi kerja untuk memberikan suatu imbalan kepada pekerja yang mana imbalan ini secara otomatis menjadi hak bagi pekerja. Jadi, pemberi kerja berhak mendapatkan hasil pekerjaan dan/atau jasa yang dilakukan pekerja, serta pekerja itu sendiri berhak atas imbalan/upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja atas pekerjaan dan/atau jasa yang ia lakukan tersebut.

2.    Kenapa perlu ada pengupahan?
Berangkat dari pengertian upah yang diberikan UU Ketenagakerjaan dan PP Pengupahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa di mana ada buruh, di situ ada upah. Pengupahan sendiri ialah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari pekerjaan. Ada pekerja, maka ada pula upah yang harus di bayarkan oleh pemberi kerja kepada pekerja/buruh. Pengupahan menjadi faktor penting, karena dengan upah yang diperoleh tersebut dapat menjamin kesejahteraan kaum pekerja/buruh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Selain sebagai balas jasa, pengupahan sendiri juga dapat menjadi pemacu ketertarikan para tenaga kerja untuk masuk dan ikut serta menjadi bagian dari perusahaan tersebut, pengupahan mampu memotivasi pekerja/buruh untuk terus melakukan sesuatu yang terbaik dan membuat inovasi-inovasi terbaru.
Selain itu, pengupahan juga berkaitan dengan perlindungan bagi pekerja. Perlindungan terhadap pekerja menjadi salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan, yang mana hal ini tertulis dalam konsideran huruf d UU Ketenagakerjaan. Bahwa, “perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dassar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkambangan kemajuan dunia usaha”. Serta dalam hal perlindungan pekerja, Prof. Imam Soepomo membaginya dalam 3 (tiga) bidang, antara lain: 
  1. Ekonomi, berupa penghasilan yang cukup;
  2. Sosial, berupa jaminan kesehatan kerja dan kebebasan berorganisasi dan berserikat;
  3. Teknis, berupa jaminan keamanan dan keselamatan kerja. 
Terlihat bahwa salah satu tujuan dilakukannya perlindungan terhadap pekerja adalah untuk menjamin hak-hak dasar pekerja. Jika dikaitkan dengan pengertian upah tersebut diatas yaitu bahwa upah adalah hak pekerja, serta dikaitkan dengan pembagian bidang perlindungan pekerja menurut Prof. Imam Soepomo bahwa salah satu bentuk perlindungan terhadap pekerja yaitu dalam bidang ekonomi berupa penghasilan yang cukup, maka dapat disimpulkan bahwa pengupahan perlu ada dan dilakukan karena menjadi salah satu hal yang dijamin dan diamanatkan undang-undang. Secara spesifik yaitu untuk melakukan perlindungan terhadap pekerja dalam upaya pembangunan ketenagakerjaan. Serta yang paling penting adalah pengupahan dilakukan untuk pemenuhan hak pekerja. 
3.    Sejarah singkat dan dinamika pengupahan di Indonesia
Tonggak awal sejarah pengupahan di Indonesia lahir karena dikeluarkannya kebijakan Pemerintah Indonesia tentang pengupahan pada tahun 1980-an. Setali tiga uang dengan Indonesia, ternyata dibelahan bumi yang lain juga mempunyai sejarah yang hampir serupa dengan Indonesia perihal perburuhan, yang mana kemudian hal tersebut mendorong lahirnya perjanjian Internasional ILO 100 tahun 1951. [1]
Kembali pada sejarah Pengupahan di Indonesia, dengan meratifikasi ILO 100 lewat UU No.80 tahun 1957.  Seiring dengan perkembangannya, lalu lahir pula PP nomor 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Pengupahan dan Permen Tenaga Kerja Nomor: PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum. 
Pada tahun 2003 isu perburuhan kembali menjadi hangat dan banyak dibicarakan terkait dengan keluarnya UU Ketenagakerjaan. Yang mana undang-undang tersebut mengatur dengan sangat luas perihal isu buruh atau ketenagakerjaan. Seiring dengan jalannya undang-undang tersebut, nyatanya dinilai belum cukup menjawab tuntutan dari para pekerja, khususnya mereka yang berada di kota-kota industri. 
Akibat hal tersebut, akhirnya muncul berbagai protes dari para buruh di berbagai daerah di Indonesia yang menuntut pengaturan yang bisa lebih mensejahterakan para buruh melalui sistem pengupahannya. Sehingga guna menindaklanjuti undang-undang tersebut, pemerintah dengan dukungan dari  para buruh dan serikat buruh mengeluarkan sebuah pengaturan baru berupa Keppres Nomor 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan. 
Hal tersebut dilakukan untuk melihat bagaimana pengupahan dilaksanakan. Sementara itu, Dewan Pengupahan terdiri dari Dewan Pengupahan Nasional, Dewan Pengupahan Propinsi, dan Dewan Pengupahan Daerah.Namun, meskipun sudah dibentuk Dewan Pengupahan ternyata tak membuat aksi–aksi protes para buruh seperti melakukan mogok kerja masal dan demontrasi yang menuntut kenaikan upah lewat sistem upah minimum dan kesejahteraan buruh, menjadi tidak ada. 
Pasalnya, antara sekitar tahun 2010 sampai 2013 saja terhitung banyak sekali aksi protes para buruh yang menuntut kenaikan upah minimum. Yang mana pada tahun 2013 didapat suatu capaian yakni tentang penghitungan jumlah komponen dalam menentukan besaran upah minimum. Kebijakan itu yang awalnya menggunakan 46 komponen penilaian dari rincian jenis harga barang pokok, kemudian berubah menjadi 60 komponen sebagai dasar ditetapkannya upah minimum. Selanjutnya hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. PP ini mengatur keseluruhan tentang hak dan tanggung jawab baik perusahaan maupun pekerja/buruh serta upah minimun yang tertulis didalam pasal 3 ayat (2) huruf (a). [2]
4.    Sistem pengupahan yang ada di Indonesia
Kebijakan mengenai upah minimum telah lama menjadi isu yang krusial dalam dunia perburuhan, ketika berbicara dunia perburuhan maka salah satu diskursus yang penting untuk terus dikaji dan diangkat ke permukaan adalah perihal upah atau pengupahan. Upah minimum merupakan suatu mekanisme dalam sistem pengupahan yang ada di Indonesia.
Kebijakan mengenai upah minimum ini menyasar terhadap pemenuhan kebutuhan hidup minimum dari pekerja dan keluarganya. Di Indonesia, kebijakan upah minimum sendiri diterapkan pertama kali pada awal tahun 1970-an. Namun, perhatian lebih atas pelaksanaan kebijakan ini baru mulai pada akhir 1980-an. [3]
Upah minimum sendiri diartikan sebagai upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap.[4]Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum, upah minimum dapat ditetapkan secara regional, sektoral regional, ataupun subsektoral, meskipun kini baru perihal upah minimum regional saja yang dimiliki oleh setiap daerah. [5]Hingga kini pengaturan mengenai upah minimum sekiranya sudah lebih diatur dalam dua kerangka pengaturan, yakni UU Ketenagakerjaan dan lebih lanjut juga diatur dalam PP Pengupahan.
  1. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang diatas, diketahui bahwa perihal pengupahan merupakan isu yang krusial untuk dibahas, selain banyak permasalahan yang terjadi dalam praktiknya. Membahas pengupahan tentu tidak lepas dengan pembahasan mengenai perlindungan terhadap hubungan hukum antara pekerja dengan pemberi kerja, dalam hal ini lebih mengarah pada pekerja. Dalam hal perlindungan terhadap pekerja, aktor pemberi perlindungan adalah pemberi kerja dan pemerintah. Pemerintah secara tidak langsung memberikan perlindungan kepada para pekerja melalui kebijakan-kebijakannya dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan pemberi kerja merupakan pemberi perlindungan yang sifatnya langsung kepada pekerja dengan menjalankan kebijakan pemerintah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 
Berangkat dari hal tersebut, maka penelitian ini akan terlebih dahulu dilakukan untuk membongkar mengenai hal-hal apa saja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan PP nomor 78 tahun 2015 mengenai pengupahan sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap pekerja. 
Tidak berhenti pada hal-hal apa yang diatur pemerintah terkait pengupahan, namun pengupahan juga seharusnya diberikan secara proporsional atas pekerjaan dan/atau jasa yang telah dikerjakan oleh pekerja. Sehingga penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaturan dalam UU Ketenagakerjaan dan PP nomor 78 tahun 2015 mengenai indikator dalam penghitungan dan penetapan upah minimum bagi pekerja. 
  1. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang dan rumusan masalah, maka setidaknya penelitian ini dilakukan untuk:
1.     Membandingkan indikator penghitungan upah minimum di Indonesia dalam UU Ketenagakerjaan dan PP Pengupahan;
2.     Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari kebijakan penghitungan upah minimum dalam UU Ketenagakerjaan dan PP Pengupahan;
3.     Mengetahui efektifitas indikator penghitungan upah minimum daam UU Ketenagakerjaan dan PP Pengupahan berdasarkan pendapat para pihak dari lintas sektoral (relasi tripartid, yaitu pemerintah—pekerja kerja/pengusaha—pekerja/serikat pekerja).
  1. METODE PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian, kami melakukannya dengan 2 (dua) metode, yaitu metode penelitian kualitatif dan metode penelitian kuantitatif. Pertama, metode kualitatif, akan kami lakukan dengan melakukan tinjauan terhadap kepustakaan atau literatur dan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian. Dalam hal tinjauan kepustakaan atau literatur, kami melakukannya terhadap beberapa buku, jurnal online, artikel online serta bahan presentasi dari ahli terkait. Sedangkan dalam hal tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan, kami akan lebih banyak melakukan tinjauan terhadap UU Ketenagakerjaan dan PP Pengupahan saja, meskipun juga melakukan tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan lainnya. 
Kedua, metode kuantitatif, akan kami lakukan dengan melakukan tinjauan lapangan sehingga akan menggunakan data empiris. Dalam melakukan tinjauan lapangan ini, kami akan melakukan wawancara dengan beberapa pihak terkait dari lintas sektoral yakni pihak relasi tripartid (pemerintah—pekerja kerja/pengusaha—pekerja/serikat pekerja). 
Dari kedua metode tersebut akan menunjukkan bagaimana penerapan peraturan perundang-udangan tentang pengupahan diimplementasikan lebih khusus bagaimana efektifitas kebijakan indikator penetapan upah minimum serta apakah para pekerja/buruh mendapatkan hak serta menjalankan kewajibannya sesuai dengan payung hukum yang pemerintah Indonesia berikan. 


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berbicara mengenai upah, hingga hari ini masih terjadi banyak persoalan utamanya di negara–negara berkembang, salah satunya Indonesia. Mengingat, situasi terkini perburuhan yang sifat dan dinamikanya semakin kompleks. 
Titik tumpu kebijakan pengupahan saat ini masih pada upah minimum yang berlandaskan pada kebutuhan hidup layak pekerja/buruh lajang (masa kerja di bawah 1(satu) tahun, akan tetapi hal tersebut masih belum mencangkup bagi yang sudah bekerja di atas 1(satu) tahun dan sudah berkeluarga. Penerapan struktur skala upah masih sangat minim dan belum bersifat wajib, sehingga tidak ada sanksi formal bagi yang tidak menerapkannya. Oleh karena itu praktis upah minimum menjadi upah efektif yang berlaku pada pasar kerja formal terutama di sektor industri padat karya.
Jika dilihat dari sejarah upah minimum, Indonesia telah mengganti standar kebutuhan hidup sebanyak 3 (tiga) kali. Standar kebutuhan hidup ini sebagai dasar penetapan upah minimum nantinya. Mengenai komponen apa saja yang terdapat dalam kebutuhan hidup ini meliputi; kebutuhan kebutuhan fisik minimum (KFM) yang berlaku Tahun 1969 – 1995; Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang berlaku Tahun 1996 – 2005 dan kemudian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berlaku Tahun 2006 yang diberlakukan hingga saat ini.
A.   Upah Minimum 1969—1955 
Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) pada tahun 1956 menjadi awal ditetapkannya upah minimum di Indonesia, melalui konsesus Tripartit. Pada awal tahun 1970-an kebijakan upah minimm mulai diperkenalkan setelah terbentuknya Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN). Perhitungan upah minimum saat itu didasarkan oleh Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yang terdiri dari 5 kelompok kebutuhan yang dihitung untuk para pekerja/buruh baik yang lajang maupun berkeluarga. 
Penentuan nilai KFM dilakukan oleh DPPD melalui survey lapang ke pasar-pasar tradisional yang ada di DKI Jakarta maupun di provinsi lain untuk mengetahaui kisaran harga yang berlaku di pasar –pasar tradisisonal tersebut. Yang kemudian terakhir akan ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja perihal Ketentuan Upah Minimumnya. 
Kebijakan upah minimum resmi berlaku sejak keluarnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-05/Men/1989 Tentang Upah Minimum. Peninjauan besaran upah minimum diselenggarakan dalam waktu 2 (dua) tahun. Dasar yang menjadi penetapan upah minimum berdasarkan dari: 
1.   Kebutuhan fisik minimm 
2.   Indek harga konsumen 
3.   Perluasan kesempatan kerja 
4.   Upah pada umumnya yang berlakusecara regional 
5.   Kelangsungan dan pekembangan perusahaan
6.   Tingkat perkembangan perekonomian Regional atau Nasional
Ketentuan tersebut kemudian direvisi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-01/Men/1990 tentang Perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-05/Men/1989. Pengertian upah minimum yang semula upah pokok terendah belum termasuk tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada pekerja diubah menjadi upah minimum yang kemudian upah pokok ditambah dengan tunjangan-tunjangan tetap, dengan ketentuan upah pokok serendah-rendahnya 75% dari upah minimum.
B.  Upah Minimum 1996—2005 
Sejalan dengan perkembangan, kemudian mulai ada ketidaksesuaian antar komponen KFM sehingga perlunya kajian ulang untuk penyesuaiannya, dan kemudian menjadi komponen Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 81 Tahun 1995.  Perubahan tersebut diselaraskan dengan munculnya ketentuan upah minimum Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 03 Tahun 1997 tentang upah minimum regional yang hanya berlaku selama 2 tahun atas terbitnya Permenaker No. 01 Tahun 1999 tentang upah minimum. Mengenai penetapan besaran upah minimum ini ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan diadakan peninjauan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sekali. Akan tetapi hanya berlaku bagi pekerja yang masa kerjanya kurang dari 1(satu)) tahun. Kemudian peraturan menteri ini diperbaiki melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No. : Kep-226/Men/2000 Tentang Perubahan Pasal-Pasal Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum. 
C. Upah Minimum 2006-sekarang
Penetapan upah minimum tahun 2006 ditetapkan berdasarkan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang berlandasakan kepada UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tetapi seiring berjalannya waktu serta adanya desakan dari SP/SB yang menuntut untuk melakukan perbaikan upah minimum, pemerintah kemudian melakukan revisi terhadap komponen yang terdapat dalam KHL dengan meluncurkan Permenkertrans No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. 
Untuk menetapkan upah minimum, tentunya tidak akan terlepas dari kebijakan yang tercantum dalam Konvensi ILO. Salah satu konvensi terpenting yang berkenan dengan upah minimum adalah Konvensi ILO No. 131 yang mengatur khusus tentang upah minimum di negara-negara berkembang yang kemudian diadopsi tahun 1970. 
Latar belakang munculnya konvensi ini dikarenakan adanya fakta bahwa perundingan bersama dan mekanisme lainnya dalam penentuan upah tidak berjalan seperti yang diharapkan.  Pasal 3 (tiga) dalam konvensi tersebut mensyaratkan bahwa pihak yang berwenang dalam menentukan upah minimum harus mempertimbangkan beberapa unsur seperti berikut:
(a) Kebutuhan dari pekerja dan keluarganya, dengan mempertimbangkan tingkat upah secara umum di negara bersangkutan, biaya hidup, jaminan perlindungan sosial dan standar kehidupan relative dari kelompok sosial lainnya.
(b) Faktor ekonomi, termasuk tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat produktivitas, dan kemampuan untuk mencapai dan menjaga tingkat pekerjaan yang tinggi. (the desirability of attaining and maintaining a high level of employment).
Akan tetapi sayangnya pemerintah Indonesia hingga saat ini belum meratifikasinya. Namun, meskipun begitu secara umum kriteria yang digunakan dalam penetapan upah minimum di Indonesia sebagian besar mereduksi dari konvensi ILO 131, yang mana diatur dalam Permenker No. 17 Tahun 2005 dan perubahan revisi KHL dalam Permenaker No. 13 Tahun 2012. 
     UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-undang tentang ketenagakerjaan yang lahir pada tahun 2003 ini sebenarnya merupakan sebuah undang-undang pengganti dari Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tengang ketenagakerjaan juga. UU Ketenagakerjaan ini dinilai sebagai UU yang dipaksakan untuk diundangkan karena ada kekhawatiran akan berlakunya UU nomor 25 tahun 1997, yang sempat diundangkan tetapi ditunda hingga dua kali. [6]
UU Ketenagakerjaan juga kemudian mengatur dengan rinci perihal upah, mekanisme pengupahan, serta indikator dalam penghitungan upah minimum. Dalam hal pengaturan mengenai upah minimum hanya sebatas pada hal yang termaktub dalam pasal 88 pasal 4 yang menentukan bahwa penetapan upah minimum didasarkan pada kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. 
     PP Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan
Dalam sebuah hirarkis peraturan perundang-undangan, biasanya Peraturan Pemerintah atau yang lebih sering disingkat PP merupakan sebuah peraturan turunan dari isi undang-undang yang membutuhkan pengaturan lebih teknis dari hal yang dimaksud, tak terkecuali dengan PP Pengupahan. PP Pengupahan ini merupakan salah satu aturan turunan yang mengatur lebih teknis isi UU Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan pengupahan. 
PP Pengupahan ini mengatur lebih rinci mengenai pengupahan, begitupun mengenai isu upah minimum, hanya saja PP ini kemudian mengatur dengan lebih rinci dari UU Ketenagakerjaan, salah satunya soal indikator penghitungan upah minimum, yang mana dalam PP ini kemudian muncul istilah formula perhitungan upah minimum yakni dengan menggunakan indicator inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam jurnal yang berjudul “Pengaturan Upah berdasarkan prinsip keadilan” yang ditulis oleh Yetniwati bahwasannya pengaturan sistem pengupahan perlu dilandasi asas-asas tertentu. Hal ini memiliki tujuan untuk menciptakan suatu tatanan sistem pengupahan yang adil dan konstitusional. Yetniwati mengungkapkan bahwa setidaknya 13 (tigabelas) asas dalam pendekatan sistem pengupahan yang adil. 
Asas-asas tersebut berbunyi sebagai berikut; a. Hak atas upah lahir setelah adanya hubungan kerja dan berakhir bila hubungan kerja berakhir; b. Upah terdiri dari beberapa komponen yang harus dirinci secara jelas; c. Tidak boleh ada diskriminasi upah; d. Pemberian upah harus manusiawi; e. Pemerintah harus melindungi upah pekerja; f. Keseimbangan; g. Adanya penghargaan untuk pekerja yang lebih produktif; h. Transparansi dalam manajemen pengupahan; i. Para pihak yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan kerugian pihak lawan dikenakan sanksi; j. Hak prioritas atas upah bila pengusaha pailit; k. Perlindungan upah yang diberikan perundang-undangan adalah perlindungan minimal; l. Memberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat bagi stakeholder dalam pembuatan regulasi hukum ketenagakerjaan. 
Yetniwati dalam tulisannya tidak sekedar membahas asas-asas, namun beliau juga turut membahas perdebatan pro dan kontra terkait frasa dalam pasal yang terkandung dalam PP No. 78 Tahun 2015, tepatnya mengenai sistem baru pengupahan berdasarkan inflasi dan ekonomi. Ia memandang sistem pengupahan yang bergantung pada pertumbuhan ekonomi atau inflasi dapat merugikan daerah-daerah yang memiliki status ekonomi rendah. Ditambah, dia berpandang bahwa PP tersebut telah menghilangkan jaminan kebutuhan hidup yang layak yang telah dilindungi dalah pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Secara umum, Yetnawati telah memberikan pandangan kritik normatif terhadap sistem upah Indonesia.                
Sementara itu dalam tulisan dengan judul “Analisis Penentuan Penetapan Upah Minimum Regional di Jawa Tengah” oleh Bella Aldida dkk, menyatakan bahwa kiranya pemberian upah minimum dengan indikator penghitungan menggunakan Ketentuan Hidup Layak (KHL) seperti dalam UU Ketenagakerjaan sebaiknya disesuaikan dengan daerah masing – masing, karena kecenderungan setiap daerah mengenai Ketentuan Hidup Layak tidak sama dan tidak bisa dipersamakan. Kemudian sebaiknya perihal upah minimum itu dikembalikan pada prinsip, sebagai upah yang diberikan kepada buruh sebagai timbal balik yang saling menguntungkan. Serta upah minimum ini bisa menjadi seperti sebuah ikatan yang memberikan pengamanan agar pemberian upah tidak jauh berada dibawah level kewajaran. 
BAB III
TEMUAN LAPANGAN

Dalam Bab ini, akan dipaparkan informasi-informasi yang didapat dari hasil wawancara dengan para pihak yang mewakili tripartid, yaitu pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan, pengusaha dalam hal ini perwakilan dari Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang , dan buruh dalam hal ini perwakilan dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). Adapun beberapa fokus yang akan dimuat dalam paparan dibawah ini, yaitu: pandangan para pihak tripartid tersebut mengenai fakta-fakta tentang perubahan indikator pengupahan dari KHL menjadi inflasi dan pertumbuhan ekonomi; ketidakpatuhan perusahaan dalam penerapan upah; keterwakilan buruh dalam menyuarakan ketidaksepakatannya terhadap kebijakan terkait indikator penentuan upah minimum berdasarkan PP 78 tahun 2015; dan pendapat masing-masing perwakilan pihak tripartid mengenai kebijakan indikator penentuan upah minimum berdasarkan PP 78 tahun 2015.
1.    Pemerintah
Berdasarkan wawancara dengan Umar Kasim, Kepala Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan, diubahnya indikator penghitungan upah minimum dari KHL ke inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak serta merta begitu saja terjadi. Pemerintah menilai banyaknya polemik yang terus bergulir soal penghitungan upah minimum karena tidak adanya standar pasti yang digunakan untuk menentukan harga dari setiap barang yang digunakan sebagai bagian dari indikator penghitungan upah minimum. Sehingga hal tersebut membuat perwakilan pengusaha, perwakilan buruh, dan perwakilan pemerintah memiliki standar yang berbeda-beda, yang pada akhirnya terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan upah minimum setiap tahunnya. Hal tersebut membuat pemerintah dalam hal ini yang berposisi sebagai penengah antara pengusaha dan buruh mencoba untuk mencari solusi dari ketidakpastian tersebut. Gagasan digunakannya inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator penghitungan upah minimum ini pertama kali diinisiasi oleh Menteri Perekonomian, Darmin Nasution, pada tahun 2015. Yang mana sebenarnya itu adalah KHL seperti dalam UU No. 13 tahun 2003 juga. Hanya saja dalam PP No. 78 tahun 2015 ini upah minimum dilihat atau ditentukan setiap 5 tahun sekali, yaitu dengan melihat inflasi secara nasional, bukan setiap setahun sekali seperti KHL pada UU No. 13 tahun 2003. Dibuatnya PP No. 78 tahun 2015 sebagai amanat UU No. 13 tahun 2003 ini sebagai langkah tegas pemerintah guna meminimalisir terus timbulnya perbedaan pendapat dan terjadinya keributan terus menerus antara buruh, pengusaha maupun pemerintah itu sendiri, dalam menentukan besaran upah minimum.
PP No. 78 tahun 2015 yang menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator penentuan upah minimum sejauh ini dijalankan dengan baik oleh perusahaan-perusahaan dalam arti sektor formal, namun hal tersebut sepertinya tidak terjadi kepada perusahaan-perusahaan dalam arti sektor informal, misalnya seperti pabrik tahu atau pabrik daging giling. Mengapa perusahaan-perusahaan skala kecil tersebut dikatakan informal karena legal standing-nya tidak formal, mungkin tidak mempunyai izin, tidak terdaftar pada BPOM, dan tidak adanya tambahan upah. Perusahaan-perusahaan informal tersebut upahnya juga sudah pasti dibawah upah minimum. Sehingga sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa semua perusahaan menjalankan perintah PP No. 78 tahun 2015 ini, meskipun baik UU No. 13 tahun 2003 maupun PP No. 78 tahun 2015 memberikan sanksi apabila sebuah perusahaan tidak membayar upah standar. Namun kenyataannya dalam praktik sanksi tersebut tidak berlaku bagi perusahaan-perusahan dengan skala kecil, dalam hal ini misalnya seperti pabrik tahu maupun pabrik daging giling tadi. Sehingga sebenarnya menjadi serba salah karena hampir semua perusahaan-perusahaan informal itu melanggar ketentuan UU ataupun PP sebagai amanat UU itu sendiri. Akhirnya, ketentuan tersebut hanya mengejar atau menyasar perusahaan-perusahaan dalam sektor formal saja. Padahal, misalnya baik pabrik tahu ataupun pabrik makanan seperti Indofood mereka sama-sama punya pekerja dan hampir sama kerasnya dalam lingkup yang dikerjakan, pun sangat timpang memang jika membandingkan kedua perusahaan itu. Namun banyak pengusaha-pengusaha dari sektor formal mengeluhkan hal tersebut.
Bicara soal isu perburuhan tentunya tidak akan terlepas dari salah satu persoalan mengenai bagaimana keterwakilan dari masing-masing pihak dalam setiap penentuan keputusan yang pada akhirnya akan berdampak pada setiap pihak, baik pengusaha maupun buruh. Dalam hal tersebut maka lahirlah sebuah forum atau rapat bersama yang bernama Tripnas atau Tripartid Nasional, yang dalam hal ini dihadiri oleh pengusaha, buruh dan juga pemerintah. Dalam forum tripartid nasional atau tripnas, setiap partid mengirimkan perwakilannya masing-masing. Para buruh yang diwakili oleh konfederasi (gabungan federasi-federasi), kemudian dari perusahaan diwakili oleh anggota APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), sementara pihak dari pemerintah yakni satu orang dari biro hukum, lima orang dari bagian pengawas dan satu orang dari pihak pemerintah dilevel terkait, sehingga total berjumlah sekitar 7 orang. Jadi dalam hal ini setiap pihak memiliki wakilnya untuk duduk bersama dan menyuarakan segala bentuk tuntutan maupun masukan satu sama lain, dan forum ini juga tidak terbatas hanya membicarakan perihal upah saja, tapi lebih dari itu, banyak sekali yang dibicarakan dalam hal terkait isu perburuhan di Indonesia.
Sementara itu jika dilihat baik atau buruknya, tentu kita ambil yang paling besar kemanfaatan atau baiknya. Baik dalam hal ini misalnya karena ketika menggunakan KHL, tidak ada standar baku yang digunakan sehingga menimbulkan konflik terus menerus antara buruh, pengusaha maupun pemerintah. Sehingga lebih baik kita tinggalkan KHL itu dan ambil yang sekiranya aman tetapi bisa berjalan dan tidak terus diperdebatkan. Akan tetapi sudah baguskah atau sudah sempurnakah PP ini? Tentu saja hal tersebut belum tentu, karena banyak pengusaha yang mengatakan bahwa ini terlalu tinggi, bagaimana bisa disamaratakan. Terutama bagi pengusaha kecil misalnya seperti pengusaha roti, bakso, daging giling maupun tahu. Mereka pasti akan teriak karena tidak sedikit dari mereka pada akhirnya akan melanggar semua ketentuan soal upah minimum itu. Salah satu alasan kenapa mereka tidak memberi upah seperti upah minimum karena mereka merasa sektor usaha mereka informal.
2.    Buruh—Ketua Departemen Hukum dan Advokasi KPBI
Berdasarkan wawancara dengan Nelson F. Siragih, Ketua Departemen Hukum dan Advokasi Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), salah satu dampak munculnya PP No. 78 tahun 2015 itu adalah hilangnya posisi tawar buruh. Beliau menjelaskan bahwa ketika penentuan upah minimum menggunakan indikator komponen Ketentuan Hidup Layak (KHL), dilakukan dengan pendekatan dialog, sehingga memanfaatkan forum tripartid. Artinya, ada keterlibatan buruh dalam penentuannya sehingga buruh mempunyai posisi tawar untuk bernegosiasi. Namun ketika sekarang menggunakan indikator inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang sudah ditentukan atau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan data dari Badam Pusat Statistik (BPS), maka sudah tidak ada lagi fungsi dialog itu yang secara otomatis juga mengkerdilkan posisi tawar buruh. Selain itu, berubahnya indikator penentuan upah minimum ini juga secara otomatis melumpuhkan fungsi Dewan Pengupahan yang secara institusional masih eksis sampai sekarang. Sebelumnya, dewan pengupahan berfungsi untuk melakukan survei lapangan untuk menentukan komponen KHL.
Perlu kita ketahui bahwa penerapan kebijakan upah minimum yang ditentukan berdasarkan KHL (sebelum muncul PP No. 78 tahun 2015) belum mencapai maksimal, artinya masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak patuh dengan kebijakan pengupahan. Namun, apakah dengan diubahnya indikator penentuan upah minimum yaitu dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang kini diatur oleh PP 78 tahun 2015 ini menjawab permasalahan tentang ketidakpatuhan perusahaan tersebut? Ternyata tidak. Menurut Nelson, adanya ketidakpatuhan penerapan kebijakan pengupahan oleh perusahaan ini disebabkan masih lemahnya pengawasan dari pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Namun, ketika hal ini dipertanyakan, jawabannya sangat klasik yaitu bahwa bagian pengawasan di Kemenaker kekurangan sumber daya manusia.
Permasalahan upah juga disebabkan dari tingginya kualitas serta standar yang ditetapkan oleh perusahaan serta pasar global, namun tidak diimbangi dengan upah yang sesuai dengan standar internasional. Negara-negara berkembang hanya mampu menjadi produsen (penyedia buruh) dengan menjanjikan buruh di negara mereka bisa dibayar murah tetapi kinerjanya sesuai dengan standar internasional. Selain itu, PP No. 78 tahun 2015 ini secara nyata telah menciptakan kemiskinan yang terstruktur. Maksudnya, karena sudah tidak mempertimbangkan KHL lagi, maka besar kemungkinan upah yang diterima tidak sesuai dengan kebutuhan hidup para buruh. Sehingga secara otomatis daya beli buruh juga menurun dan semakin tidak mencapai kehidupan yang layak dan sejahtera. Kemudian jika siklus ini terus terjadi, maka akan berujung kemiskinan.
Selain itu, beliau juga menambahkan bahwasannya dalam perburuhan juga kental dipengaruhi oleh perpolitikan. Hal tersebut terlihat dari regulasi yang dibuat memiliki suatu maksud tertentu hingga lahirnya PP 78 di Tahun 2015, tanpa adanya koordinasi dan melibatkan perwakilan buruh, adapun jika pemerintah mengatakan bahwa proses tersebut sah karena telah diwakili oleh serikat buruh. Namun pada kenyataannya orang yang hadir dan mengatasnamakan perwakilan buruh bukanlah representasi dari buruh itu sendiri. Sedangkan yang akan mewakili para buruh dalam keterlibatannya pada forum tripartid ini akan diwakili oleh serikat buruh. Tentunya serikat buruh yang akan mewakili harus memiliki tuntutan yang sama, yaitu mengenai upah yang proposional, selain itu dinilai juga berdasarkan jumlah keanggotannya yang terbanyak seperti KPBI, KASBI, KSPI, KSBSI, KSPSI. Nama-nama itu yang secara nasional sudah sangat jelas dan terang tanpa keraguan dibilang sebagai representasi buruh. Namun pada praktiknya, forum tripartid di tingkat Nasional yang berisikan Pemerintah, Pengusaha, Buruh dan juga Akademisi, keberadaanya tidak berjalan dengan optimal.

3.    Perusahaan—HRD Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang
Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang ini merupakan perusahaan multinasional yang dikenal namanya secara global. Sebagai perusahaan yang cukup bergengsi dan tentunya memiliki kemampuan finansial serta sistem manajemen yang baik, Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang ini menetapkan rate inflasi sendiri dalam skala upah nya. Dengan kata lain, perusahaan ini menentukan perhitungan kenaikan inflasi yang terjadi pertahun dan tentunya berdampak terhadap kenaikan gaji buruh/pekerja. Berdasarkan pemaparan Bapak Didit, selaku HRD pada perusahaan Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang, beliau menegaskan bahwa memang seharusnya sistem pengupahan seperti itu. Akan tetapi ada juga perusahaan-perusahaan yang selalu menyamakan rate upah dari waktu ke waktu. 
Dalam menentukan upah, ada dua faktor penting harus dipertimbangkan; Savingsdan Investment. Kedua faktor tersebut merupakan kunci dari kesuksesan sebuah perusahaan. Kepandaian perusahaan dalam mengalokasi dana dan profit untuk kedua hal tersebut terkadang menyampingkan interest untuk buruh/pekerja itu sendiri. 
Perihal isu ketidakpatuhan perusahaan dalam menjalani peraturan upah KHL dan sistem inflasi tentu terjadi. dalam pemaparannya beliau menyatakan bahwa pada sistem KHL pun masih terdapat kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan, permasalahan yang sering terjadi berupa; perusahaan tidak sanggup untuk mengikuti UMP(Upah Minum Provinsi), selalu melakukan penangguhan, dan mereka (perusahaan) belum tentu kuat secara finansial. Adapun pendapat beliau yang menyinggung tentang pembedaan rate upah secara sektoral akan lebih baik, dibanding perbedaan atas dasar wilayah.
Dengan pergeseran sistem pengupahan sesuai inflasi dan pertumbuhan ekonomi, perusahaan diharapkan lebih mudah untuk memberikan upah yang layak bagi para pekerja dan menghindari pertemuan pertahunan yang cenderung berjalan dengan tidak efektif, dengan survei yang sering kali terlambat dan bisa berujung konflik jika tidak menemukan titik konsensus. Dari ketidakseragaman pendapat itulah pendekatan inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan lebih efisien karena wewenang pengupahan dikembalikan lagi kepada perusahaan. 
Akan tetapi pendekatan ini pun juga tidak sepenuhnya memberikan ruang yang kondusif bagi hubungan buruh/pekerja dengan perusahaan. Perusahaan yang notabennya memiliki bargaining power lebih besar akan menutup kemungkinan membuka ruang untuk perundingan kedua belah pihak, tentunya semua perusahaan tidak bisa disederhanakan sepertu itu. lebih lanjut menurut beliau, penerapan sistem pengupahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi cenderung lebih mudah untuk diterapkan oleh perusahaan besar yang memiliki keunggulan finansial dan sistem manajemen yang baik, sebaliknya perusahaan yang jauh dari unggul dan memiliki sistem manajemen yang buruk akan sangat kesulitan menerapkan sistem upah sesuai inflasi dan pertumbuhan ekonomi. 
Dalam pandangan beliau, keterwakilan buruh dalam forum tripartid tidak sepenuhnya menyuarakan buruh secara keseluruhan. Serikat buruh pada dasarnya memiliki tujuan tersendiri dan keterpihakan masing-masing. Pada satu sisi serikat buruh dapat berkompromi dengan pengusaha dan pada sisi lain buruh dapat dipengaruhi partai politik karena jumlah masa yang dapat menguntungkan partai itu sendiri. Dengan realitas tersebut, serikat buruh merupakan sasaran halus politik, perusahaan, maupun partai.
Namun ada satu hal penting yang menjadi sorotan dari PP 78/2015, yakni masalah keterbukaan sistem keuangan perusahaan. Dengan segala perubahan yang hadir pada PP, titik negosiasi yang hanya akan terjadi antar pihak pengusaha dan pemberi kerja akan dipertemukan dengan soal “keterbukaan keuangan perusahaan”. Pada dasarnya permintaan informasi atas keuangan perusahaan diperbolehkan dalam PP 78/2015 maupun PP 8/1981 asal dilakukan dengan kuasa yang sah. Namun kembali menurut Bapak Didit, keterbukaan soal buku-buku perusahaan merupakan sebuah konsepsi yang salah oleh buruh.






BAB IV
ANALISIS
Studi Kasus: Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang
A.   Permasalahan Pokok
Berubahnya indikator penghitungan upah minimum dari Ketentuan Hidup Layak (UU No. 13 tahun 2003) menjadi inflasi dan pertumbuhan ekonomi (PP No. 78 tahun 2015) serta penerapannya oleh Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang.
Pemerintah memiliki inisiatif untuk mengurangi konflik yang biasanya terjadi ketika membahas komponen KHL dalam forum tripartid, dengan mengeluarkan kebijakan pengupahan melalui PP No. 78 tahun 2015. Meskipun PP ini adalah amanat dari UU No. 13 tahun 2003, namun ternyata malah memunculkan kebijakan baru yang berbeda dengan UU No. 13 tahun 2003. Yang mana berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 penentuan upah minimum berdasarkan KHL, akan tetapi PP menentukan lain yaitu berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. 
Kebijakan upah memang ditujukan untuk aktor perburuhan, yakni pengusaha dan buruh. Namun tetap saja yang menjadi aktor pelaksananya yaitu pengusaha, dan buruh menjadi penerima atas pelaksanaan kebijakan upah tersebut. Sehingga untuk menilai keefektifitasan kebijakan upah tersebut dapat dilihat dari kepatuhan pengusaha dalam menerapkan kebijakan upah.
Dalam hal ini, perusahaan yang dimaksud adalah Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang. Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang sendiri menyambut perubahan indikator penghitungan upah minimum yang semula dari KHL menjadi inflasi dan pertumbuhan ekonomi dengan positif. Harapannya setelah adanya kebijakan ini perusahaan akan lebih mudah untuk memberikan upah yang layak bagi pekerja serta menghindari ketidakefektifannya pertemuan-pertemuan yang berlangsung setahun sekali. 
Perlu diingat bahwa tidak semua perubahan kebijakan ini memberikan ruang yang kondusif bagi hubungan buruh dengan perusahaan. Perusahaan memiliki kekuatan tawar menawar yang sangat kuat, sehingga peluang untuk bernegosiasi antara kedua belah pihak atas kebijakan ini kemungkinan besar akan tertutup. 
Namun tentunya dibalik hal positif dalam suatu kebijakan, ada pula hal negatif di dalamnya. PT. Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang sendiri sangat menyayangkan adanya masalah keterbukaan sistem keuangan oleh perusahaan yang diatur dalam PP disalahartikan oleh buruh. Selain itu, karena pada akhirnya yang dikenai kebijakan upah tersebut adalah buruh, maka efektif atau tidaknya PP No. 78 tahun 2015 juga dapat dilihat dari tanggapan buruh terhadap PP tersebut, salah satunya dengan banyaknya upaya-upaya penolakan, baik dengan jalur litigasi maupun non litigasi yang dilakukan oleh banyak buruh di Indonesia. 

B.   Identifikasi Sebab Berdasarkan Pandangan Tripartid
1.    Menurut Pihak Pemerintah 
Berdasarkan pemaparan yang disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan, secara histori. Hampir lima belas tahun sudah pasca ditetapkannya UU No. 13 tahun 2003 yang mengatur soal ketenagakerjaan begulir dan mengalami banyak polemik. salah satu yang seringkali menjadi sorotan yakni perihal indikator penghitungan upah minimum yang menggunakan Ketentuan Hidup Layak (KHL). KHL yang waktu itu menjadi dasar dalam menghitung berapa jumlah upah minimum setiap tahunnya, tidak pernah terlepas dari berbagai permasalahan, perdebatan, bahkan hingga menimbulkan konflik antar pihak yang terkait. Salah satu penyebabnya ialah, karena tidak adanya standar pasti yang digunakan untuk menghitung komponen yang dipakai untuk menghitung KHL. Hal tersebut menyebabkan tiga dewan yakni perwakilan pengusaha, perwakilan pemerintah, dan perwakilan buruh tidak pernah mencapai kata sepakat, dan alhasil perbedaan pendapat, hingga konflik karena setiap kepentingan dari masing-masing pihak pun tak terelakan. Pada tahun 2015, lewat PP nomor 78 tahun akhirnya pemerintah mencoba mengambil langkah tegas untuk meminimalisir konflik yang terus menerus terjadi, dengan mengubah indikator penghitungan upah minimum dari KHL menjadi inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Yang mana ide awal digunakannya inflasi dan pertumbuhan ekonomi ini di inisiasi oleh Darmin Nasution yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Perekonomian.

2.    Menurut Pihak Buruh/Serikat Buruh
Dari beberapa pernyataan berdasarkan hasil wawancara dengan Nelson, salah satu perwakilan buruh yang berhasil ditemui, terkait berubahnya penghitungan upah minimum menggunakan mekanisme survey dalam penentuan Ketentuan Hidup Layak (KHL), dan setelah lahirnya PP 78 tahun 2015 kemudian beralih menggunakan ukuran inflasi dan pertumbuhan ekonomi, hal tersebut dianggap masih belum efektif, terlebih indikator tersebut tidak serta merta menjawab kebutuhan ekonomi pekerja/buruh dalam pemenuhan kehidupan yang layak. Karena dalam proses penentuannya juga tidak melibatkan buruh atau yang mewakilinya, sehingga proses negosiasi tersebut menjadi hilang, berbeda dengan penentuan KHL berdasarkan survey harga bahan pokok di pasaran, karena dalam prosenya melibatkan Dewan Pengupahan. Maka dalam proses penentuan upah minimum pekerja bisa turut terlibat untuk menentukan besaran kenaikan upah minimum itu sendiri, dan itu dirasa cukup adil oleh pekerja/buruh, meskipun dalam praktiknya masih sering terjadi tuntutan kenaikan upah karena harga bahan pokok setiap tahunnya semakin naik. 
Ditambah lagi dalam penjelasannya diatas bahwa masih banyak juga perusahaan yang tidak taat dalam menerapkan pengupahan yang sesuai dengan PP 78 tahun 2015, hal tersebut semakin menambah permasalahan karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perusahaan, sehingga PP 78 tahun 2015 dianggap tidak efektif karena mengakibatkan hilangnya hak buruh untuk bernegosiasi dengan perusahaan terkait upah layak yang seharusnya mereka terima.
Menurut pandangan Pak Nelson, kebijakan upah ini diubah karena pemerintah ingin simpel. Sebelumnya, menggunakan KHL itu mengharuskan tiap daerah melalui dewan pengupahan melakukan survey lapangan terlebih dahulu, dirembukkan (yang dalam perembukkannya sudah pasti banyak perbedaan pendapat, karena saling mempertahankan posisi dan kepentingannya masing-masing), barulah setelahnya akan ditentukan. Sedangkan jika menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dua hal tersebut sudah ditentukan oleh BPS yang kemudian tinggal dipakai untuk penghitungan kenaikan upah. Apalagi hasil akhir kenaikan upah ini dipakai untuk menentukan upah secara nasional. 

3.    Menurut Pengusaha
Kehadiran sistem upah yang baru tidak serta merta menyingkirkan sistem KHL, nanti pun sistem tersebut akan ditinjau kembali. Secara garis besar, Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang ini menerima sistem inflasi dan pertumbuhan ekonomi dengan baik. Kebijakan tersebut dapat menekan segala ketidakseragaman yang menjadi perdebatan saat meninjau upah dengan pendekatan KHL. Dengan kata lain, PP hadir untuk meredam perubahan secara progresif dan menghindari segala proses yang seringkali memakan waktu banyak, serta validitasnya yang sering dipermasalahkan. 
C.  Identifikasi Akibat
Dalam mengatur upah minimum, Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang ini memastikan golongan terendah dari struktur pekerjaan sudah pasti mendapatkan upah diatas UMP. Akan tetapi soal skala upah perusahaan, penetapan kenaikan upah merupakan proses yang cukup rumit. Menurut PP 78/2015, pemberian upah minimum hanya berlaku pada pekerja yang melakukan pekerjaan sebelum melampaui masa satu tahun. Melihat dari ketentuan tersebut, penetapan upah dipandang rumit untuk ditetapkan karena perusahaan tidak mudah untuk menentukan upah staff yang berada dibawah, yang dapat melibihi staff diatas. Ketika menyusun skala upah, perusahaan harus memperhatikan asas perimbangan. 
Buruh merasa tidak dilibatkan lagi dalam penentuan upah minimum. Kemudian ketika kebijakan itu sudah keluar, sedikit sekali upaya yang dapat dilakukan untuk menolaknya. Misalnya melalui aksi. Namun, tetap sama saja karena kembali lagi penentuan kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sudah ada formula yang tetap dan juga pasti. Sehingga, meskipun diadvokasikan, tidak akan mengubah formula tersebut. 
D.  Permasalahan Lanjutan yang Muncul  
Pada umumnya perusahaan memiliki kecenderungan untuk tidak membuka hasil keuntungan dari penjualan (profit) yang mereka dapatkan setiap tahunnya, meskipun dalam PP 78 tahun 2015 pasal 40 ayat (1) dan PP 8 tahun 1981 Pasal 29 memberikan hak kepada buruh untuk mengetahui buku-buku rahasia perusahaan yang berkaitan dengan keterangan upah, hal tersebut tidak ditaati oleh perusahaan, karena ada kekhawatiran kuat jika buku-buku tersebut digunakan oleh buruh untuk tujuan memberi gambaran disparitas upah yang didapat oleh seluruh jajaran pekerja, maka dari itu akan dijadikan alat untuk menekan perusahaan terkait kenaikan upah yang buruh kehendaki. Ditambah, perusahaan akan selalu memikirkan segala incomeyang dapat digunakan untuk investasi maupun research and development.

BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pemaparan di atas yang didapat dari tinjauan yang dilakukan secara yuridis dan empiris perihal permasalahan-permasalahan yang terjadi dan dialami langsung khususnya oleh Perusahaan Manufaktur Mobil asal Jepang ini, yang dalam hal ini dijadikan sebagai salah satu perusahaan yang menjadi contoh bahasan dalam makalah ini, menurut penulis penerapan kebijakan PP 78 2015 dalam sistem inflasi dan pertumbuhan ekonomi dipandang sudah efektif. Hal ini dikarenakan menurut perusahaan sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung, PP tersebut dapat menekan segala ketidakseragaman yang menjadi perdebatan saat meninjau upah dengan pendekatan KHL. Dengan kata lain, PP ini hadir untuk meredam perubahan secara progresif dan menghindari segala proses yang seringkali memakan waktu banyak, serta validitasnya yang sering dipermasalahkan. Namun penulis kemudian menemukan permasalahan lanjutan berdasarkan hasil temuan lapangan, ternyata ada permasalahan lain diluar soal pengupahan dalam arti upah minimum untuk buruh, yakni mengenai hak buruh untuk mengetahui buku-buku rahasia perusahaan yang berkaitan dengan keterangan upah, yang dalam praktiknya hal ini dengan tegas ditolak oleh pengusaha. 
                                                                                          







DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum
Buku:
Bambang T. Dahana dkk..  “Dari Mana Pakaianmu Berasal”. (Yogyakarta: LISP dan Tanah Air Beta, 2016)
Artikel dalam Jurnal Elektronik:
Devanto Shasta P., “Kebijakan Upah Minimum untuk Perekonomian yang Berkeadilan: Tinjauan UUD 1945”, Journal of Indonesian Applied Economics Vol.5 (2011): 269-285, http://jiae.ub.ac.id/index.php/jiae/article/download/108/137
Yetniwati., “Pengaturan Upah berdasarkan Prinsip Keadilan”, https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/16677/16255
Bella Aldida dkk, “Analisis Penentuan Penetapan Upah Minimum Regional di Jawa Tengah”, https://id.scribd.com/doc/38009166/ANALISIS-PENENTUAN-PENETAPAN-UPAH-MINIMUM-REGIONAL-DI-JAWA-TENGAH
Artikel di Media Massa:
Arm/Mys, “Prof. A.Uwiyono: UU Ketenagakerjaan UU Kanibalisme”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8213/prof-a-uwiyono-uu-ketenagakerjaan-uu-kanibalisme
Wawancara:
Umar Kasim, Kepala Biro Hukum Kementerian Ketenagakerjaan
Nelson F. Siragih, Ketua Departemen Hukum dan Advokasi Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
Didit, HRD Perusahaan Manufaktur asal Jepang


[1]ILO, “Sekilas ILO di Indonesia”, diakses pada 24 Maret 2018, http://www.ilo.org/public/indonesia/region/asro/jakarta/download/faktailojkt.pdf
[2]Bambang T. Dahana dkk.,  “Dari Mana Pakaianmu Berasal”, (Yogyakarta: LISP dan Tanah Air Beta,2016), hlm 1
[3]Devanto Shasta P., “Kebijakan Upah Minimum untuk Perekonomian yang Berkeadilan: Tinjauan UUD 1945”, Journal of Indonesian Applied Economics Vol.5 (2011): 269-285, diakses pada 24 Maret 2018, http://jiae.ub.ac.id/index.php/jiae/article/download/108/137
[4]Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum, Ps. 1 ayat (1)
[5]Id.
[6]Arm/Mys, “Prof. A.Uwiyono: UU Ketenagakerjaan UU Kanibalisme”, diakses pada 25 Maret 2018, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8213/prof-a-uwiyono-uu-ketenagakerjaan-uu-kanibalisme

2 komentar:

  1. Dear : Custumer Import & Domestics
    Kami dari PT. TWIN Logistics mengajukan penawaran kerjasama dalam bidang pengurusan barang Import RESMI & BORONGAN.

    Services Kami,
    Customs Clearance Import sistem Resmi maupun Borongan
    Penanganan secara Door to Door ASIA & EROPA Sea & Air Service
    Penyediaan Legalitas Under-Name (Penyewaan Bendera Perusahaan)
    Pengiriman Domestik antar pulau seluruh Indonesia laut dan Udara atau Darat.



    Terima kasih atas kepercayaan kepada kami, semoga kerjasamanya berjalan dengan lancar.
    Jika ada yang inggin dipertayakan, silahkan hubunggi kami di Nomor Phone : +62 21 8498-6182, 8591-7811 Whatssapp : 0819-0806-0678 E-Mail : andijm.logistics@gmail.com

    Best Regards,

    Mr. Andi JM
    Hp Whatssapp : 0819-0806-0678 / 0813-8186-4189
    = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = == = = = =
    PT. TUNGGAL WAHANA INDAH NUSANTARA
    Jl. Raya Utan Kayu No.105 B Jakarta Timur 13120 Indonesia
    Phone : +62 21 8498-6182, 8591-7811 Fax : +62 21 8591-7812
    Email : andijm.logistics@gmail.com, cs@twinlogistics.co.id
    Web : www.twinlogistics.co.id

    BalasHapus
  2. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus