Hampir 10 tahun terakhir kekuatan gerakan buruh memperlihatkan keperkasaannya. Di tengah gelombang neoliberalisme yang berusaha menaklukkan kekuatan kolektif buruh, buruh Indonesia membuktikan sebaliknya. Sejak 2006 ketika terjadi aksi massa serikat buruh menolak revisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan membuat pemerintah menarik kembali rencana revisi, sejak itu pula kesadaran buruh terhadap kekuatan kolektif terus menguat. Sejak saat itu tiap tahun unjuk kekuatan buruh setiap perayaan 1 Mei makin massif dan bersifat nasional serta semakin efektif untuk membuat pemerintah memperhitungkan kekuatan mereka.
Selain menguat dari sisi jumlah, unjuk kekuatan buruh juga ditandai oleh meningkatnya tuntutan perbaikan kebijakan yang lebih inklusif di luar urusan di dalam pabrik. Hal ini mengisyaratkan empat hal. Pertama bahwa serikat buruh semakin menyadari bahwa buruh adalah bagian dari warganegara dan perjuangannya tidak sebatas di dalam tembok pabrik. Kedua bahwa buruh semakin cerdas dalam membaca situasi yang belum beres di negeri ini. Ketiga bahwa pemerintah memang harus terus ditekan dan didorong untuk merumuskan kebijakan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan seluruh warga negara. Keempat, pengertian siapa buruh dikembalikan pada makna dasarnya yakni orang yang bekerja atas dasar perintah dan mendapatkan upah dan itu menunjukkan bahwa kelompok buruh adalah kelompok sebagian besar warganegara.
Strategi gerakan buruh dalam pengerahan massa juga semakin berkembang. Sasaran-sasaran aksi massa memperlihatkan pemahaman buruh terhadap pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap penentuan hak buruh. Melakukan aksi di pabrik sudah ditinggalkan. Ketika buruh memusatkan aksinya di jantung pemerintahan pusat maupun daerah dan kantor-kantor kementerian, hal ini menunjukkan bahwa pemerintahlah pihak yang paling bertanggungjawab dalam menentukan dipenuhinya hak buruh. Ketika buruh mengarahkan aksinya ke kantor-kantor kedutaan asing, hal ini memperlihatkan pemahaman bahwa kapital global juga amat berperan dalam memenuhi hak buruh. Perlu dicatat bahwa strategi memerjuangkan hak tidak hanya mengandalkan aksi massa. Aksi massa hanya puncak dari tahap negosiasi dan advokasi .
Kemenangan demi kemenangan yang diraih gerakan buruh melalui aksi kolektif memperlihatkan bahwa buruh tidak dapat lagi dipandang sebelah mata. Keberhasilan buruh memaksa pemerintah menunda revisi UU, mengesahkan UU BPJS, memperketat outsourcing dan menaikkan upah minimum secara signifikan menjadi bukti tak terbantahkan bahwa gerakan buruh adalah gerakan yang efektif, representative dan persisten.
Fenomena gerakan buruh ini juga menjadi menarik untuk dicermati dalam konteks kinerja pemerintahan SBY dan parlemen. Semua keberhasilan tuntutan gerakan buruh di atas diraih melalui saluran nonformal dan memperlihatkan tidak efektifnya institusi birokrasi bekerja. Inefektivitas tersebut amat dipahami buruh dan oleh karenanya proses-proses perubahan kebijakan dilakukan tanpa melalui institusi tersebut.
Parlemen dan partai-partai politik di dalamnya juga tidak dijadikan pilihan oleh gerakan buruh sebagai saluran menyampaikan perubahan karena buruknya kinerja parlemen baik dari sisi kepekaan,keberpihakan, visi dan orientasinya. Belum lagi dari sisi etika dan korupsinya. Jika pun jalur formal proses kebijakan ditempuh seperti dalam soal penetapan UU BPJS, cara itu tetap ditempuh dengan pengawalan ketat dari massa buruh yang tidak lelah mengikuti proses yang berjalan di parlemen. Tekanan massa dalam proses kebijakan ini juga merupakan refleksi atas ketidakpercayaan buruh terhadap visi dan orientasi parlemen sebagai wakil rakyat.
Menguatnya gerakan buruh perlu disikapi secara cerdas oleh pemerintah dan pengusaha. Cara-cara lama yang represif dan memandang buruh sebagai kelompok barbar dan tidak tahu diri harus ditinggalkan. Kemampuan buruh membaca dan menganalisa situasi dengan mengandalkan data-data makro maupun mikro sebagai basis penetapan berbagai strategi perjuangan yang ditempuh sebagaimana yang disebutkan di atas, sesungguhnya adalah kondisi yang positif dalam mewujudkan hubungan industrial yang setara. Buruh yang semakin cerdas merupakan isyarat akan didapatkannya mitra berunding yang setara bagi pengusaha. Kesetaraan dalam perundingan akan membuat proses negosiasi semakin efisien dan efektif.
Sejalan dengan itu cara pandang terhadap status dan posisi buruh serta terhadap hubungan buruh-majikan-negara perlu dirumuskan ulang ke arah yang lebih setara untuk menuju kesejahteraan bersama.
Indrasari Tjandraningsih
Peneliti AKATIGA-Pusat Analisis Sosial, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar