Rabu, 03 April 2019

Gerakan Buruh untuk Rakyat Desak Mahkamah Agung Revisi Surat Edaran tentang Hubungan Industrial


Gerakan Buruh untuk Rakyat Desak Mahkamah Agung Revisi Surat Edaran tentang Hubungan IndustrialGabungan organisasi Gerakan Buruh untuk Rakyat mendesak Mahkamah Agung mengubah Surat Edaran Mahkamah Agung terkait perkara hubungan industrial. Berbagai surat edaran tersebut dinilai mengebiri hak-hak buruh dan menjauhkan buruh dari kepastian kerja. Alhasil, pintu peradilan bagi buruh untuk mendapatkan keadilan semakin tertutup rapat.
Gerakan Buruh untuk Rakyat terdiri di antaranya dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Konfederasi KASBI, Konfederasi Serikat Nasional, Serikat Pekerja Bank Danamon, SP Bank Permata, Jarkom SP Perbankan, SP Pergerakan Pelaut Indonesia, Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia, SP Johnson, Gabungan Serikat Buruh Mandiri dan LBH Jakarta.

Senin, 04 Februari 2019

Inventarisasi SEMA Mengenai PHI, 2012-2018

Mahkamah Agung (MA) menerapkan Sistem Kamar yang salah satunya bertujuan untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan.  Setiap Kamar di MA secara rutin mengadakan Rapat Pleno Kamar sejak tahun 2012 sampai dengan 2018. Hasil dari rumusan pleno kamar ini kemudian disampaikan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan Ketua Pengadilan Tingkat Banding dalam bentuk  Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

Sekalipun SEMA lebih bersifat internal dan administratif sehingga bukan merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan tetapi sangat penting untuk memperhatikan isi SEMA karena dalam prakteknya Hakim akan sangat dipengaruhi keputusannya oleh isi SEMA.

Dibawah ini adalah inventarisasi isi SEMA mengenai rumusan sub kamar perdata khusus PHI sejak 2012 sampai dengan 2018.

Sabtu, 02 Februari 2019

Mendorong Perubahan SEMA yang Lemahkan Buruh


Sejumlah pengurus dan anggota Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Selasa, 29 Januari lalu melakukan kunjungan ke PSHK. Kedatangan rombongan tersebut untuk mendiskusikan dua Surat Edaran Mahkamah Agung terkait dengan ketenagakerjaan yaitu SEMA Nomor 3 Tahun 2015 dan Nomor 3 Tahun 2018. Beberapa materi dalam dua SEMA tersebut dinilai tidak berpihak pada perlindungan hak-hak buruh. Diantaranya, pembayaran upah proses yang ditetapkan hanya untuk enam bulan serta tidak adanya upah proses bagi pekerja kontrak yang sedang berperkara di pengadilan hubungan industrial.

Sabtu, 12 Januari 2019

UPDATE PHI 2018: BURUH PKWT TIDAK BERHAK ATAS UPAH PROSES

Sejak tahun 2012 sampai dengan 2018 Mahkamah Agung mengeluarkan rumusan pleno kamar Mahkamah Agung termasuk di dalamnya mengenai kamar perdata khusus pengadilan hubungan industrial.  Rumusan ini dikeluarkan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung. Tulisan ini bermaksud memberikan update atas rumusan kamar perdata khusus pengadilan hubungan industrial yang dikeluarkan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 (SEMA 3/2018).

Sabtu, 03 November 2018

Pemagangan, Ratusan Buruh Petisi Hanif Dhakiri

Aksi buruh menolak pemagangan di PT. Suryasukses Adi Perkasa

Ratusan buruh menandatangani petisi kepada Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri agar mencabut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri karena praktek pemagangan sudah menyimpang dari tujuannya sebagai pelatihan kerja tetapi menjadi modus baru bagi pengusaha untuk membayar buruh dengan upah di bawah upah minimum.  

Selengkapnya petisi buruh ini dapat dilihat dengan klik disini

Minggu, 28 Oktober 2018

Pentingnya Desk/Unit Pidana Perburuhan di Kepolisian

Pendahuluan

Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan memuat sanksi pidana terhadap yang melanggarnya. Namun dalam praktek, ketentuan pidana ini sangat jarang diterapkan padahal bila diterapkan dapat memberikan efek jera bagi pelakunya dan dapat memberikan perlindungan bagi pekerja dan pelaku usaha.

Ketentuan pidana perburuhan dapat dilihat pada: 
1.    UU No. 1 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja, 
2.    UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan,
3.    UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
4.    UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, 
5.    UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, 
6.    UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 

KERTAS POSISI UPAH PROSES, KEGAGALAN MAHKAMAH AGUNG MEWUJUDKAN KEPASTIAN DAN KEADILAN HUKUM

 I.     Pendahuluan

Istilah upah proses tidak ada dalam peraturan perundang-undangan tetapi muncul dalam praktek.  

Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur : “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”. 

Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak memiliki sikap yang sama dalam memutus upah proses. Sikap Hakim PHI dapat dikategorikan menjadi:
a.      memutus upah proses paling lama 6 (enam) bulan.
b.     memutus upah proses lebih dari 6 (enam) bulan.
c.      memutus upah proses sampai putusan berkekuatan hukum tetap.

Ragam tafsir ini menimbulkan ketidak pastian hukum dan ketidak adilan bagi pencari keadilan melalui mekanisme PHI.

Kamis, 20 September 2018

Petisi: SPK PT Tel MELAWAN PHK


Klik disini untuk menandatangani petisi


Serikat Pekerja Kontraktor PT Tanjungenim Lestari Pulp and Paper (SPK PT TEL) terus melakukan perlawanan terhadap PHK sepihak perusahaan. Anggota Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia (FSP2KI) tersebut menganggap PHK yang dilakukan vendor PT Tanjungenim Lestari Pulp and Paper ( PT TEL ) tidak sesuai dengan kaidah hukum. SPK PT Tel menganggap PT Tel telah bekerjasama dengan perusahaan pelanggar hukum. PT Tel merupakan perusahaan yang memproduksi kertas dan pulp di Muara Enim, Sumatera Selatan.
Pertama,  Kontraktor ( Vendor ) PT TeL PT Mayapada Klinik Pratama Telpp melakukan PHK kepada pengurus SPK PT TEL unit Klinik saudara Rival, dengan pasal usang. Perusahaan serta merta mem-PHK dengan alasan terjadi pelanggaran berat sebagaimana diatur Pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

MAKALAH PENELITIAN TINJAUAN YURIDIS DAN EMPIRIS PERIHAL INDIKATOR PENGHITUNGAN UPAH MINIMUM DAN EFEKTIFITAS PENERAPANNYA DALAM SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA

MAKALAH PENELITIAN
TINJAUAN YURIDIS DAN EMPIRIS PERIHAL INDIKATOR PENGHITUNGAN UPAH MINIMUM DAN EFEKTIFITAS PENERAPANNYA DALAM SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA
(DILIHAT DARI UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PP NO. 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN)
STUDI KASUS: PERUSAHAAN MANUFAKTUR MOBIL ASAL JEPANG

SEKOLAH TINGGI HUKUM JENTERRA

Disusun oleh:
Debby Thalita Nabila P
(101160005)

Devy Kusuma Wati
(101160006)

Fitriah

(101160009)
M Arif Hidayah
(101160014)

Surti Handayani
(101160019)


HUKUM PERBURUHAN
SEKOLAH TINGGI HUKUM INDONESIA JENTERA 2018

BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
1.    Apa itu upah?
Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) dan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan (selanjutnya disebut PP Pengupahan) mendefinisikan upah sebagai “hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.

Kamis, 21 Juni 2018

Victory for Indonesian pulp and paper workers

Strike port workers at Tarahan Lampung
A strike on 13 June by IndustriALL Global Union affiliate, FSP2KI, involving 500 outsourcing workers at one of Indonesia’s biggest pulp and paper companies, has led to significant gains for workers. 
It is the first time that workers at five different outsourcing companies have gone on strike in two locations at the same time in Indonesia, according to FSP2KI. All the companies, which are based in South Sumatra and Lampung, serve operations at the Tanjungenim Lestari Pulp and Paper company.  
About five hours after the strike, Kaliguma Transindo, which operates Tanjungenim Lestari’s port in Lampung Province, adhered to workers’ demands to have wage increases taken into effect from 1 January 2018. However, Ahmad Hafids, the local port trade union leader in Lampung, said it would not stop the strike until workers' demands in South Sumatra were also met. The port workers’ strike was particularly damaging to Tanjungenim Lestari because it meant that pulp could not be exported, which has a knock-on effect of filling the warehouse and slowing down production in South Sumatra. 
On 14 June, following ten hours of negotiations attended by unions, outsourcing companies and Tanjungenim Lestari management, the parties reached a milestone agreement that guarantees continuity of permanent work if there is a change in a contractor company.  
Furthermore, temporary workers who have been employed for more than a year at Wira Putra Perkasa, a service company loading and unloading raw materials at the mill, and the Mayapada Clinic Pratama, a healthcare provider for mill workers and their families, will now get permanent jobs as required under Indonesian law.
FSP2KI has also managed to secure guarantees on working hours, work safety, social security and freedom of association. 
Significantly, under the agreement, Tanjungenim Lestari Pulp and Paper, as a principal company is responsible for the implementation of the results of the negotiation.
The strikers were boosted by solidarity support from IndustriALL, Australian union CFMEU, IndustriALL Indonesia Council, IndustriALL affiliates in the pulp and paper sector, as well as other unions at the companies. 
Tanjungenim Lestari Pulp and Paper employs around 2,500 workers of which more than 1,700 are employed at outsourcing firms.  
IndustriALL’s assistant general secretary, Kemal Özkan, said: 
“We congratulate FSP2KI on their significant victory which will improve the lives and job security for hundreds of outsourced workers providing essential services to Tanjungenim Lestari Pulp and Paper. By coming together from five different companies, these workers have shown the power in a union.” 
Brother Irman, a local FSP2KI union leader in South Sumatra, says: “This is just the beginning of the fight because there are still many outsourced workers who are enslaved and have not joined the union. But we have shown that we are strong and that we are not alone.”  
Resource:http://www.industriall-union.org/victory-for-indonesian-pulp-and-paper-workers