Jumat, 21 Juli 2017

TIM ADVOKASI SELAMATKAN KPK DARI ANGKET DPR

Pendaftaran judicial review  hak angket ke Mahkamah Konstitusi, 20 Juli 2017


Jakarta, 19 Juli 2017
 
Kepada yang Terhormat,

KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
di Jalan Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat 10110




Perihal:
Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17  Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Dengan hormat,

Perkenankanlah kami:

Muhamad Isnur, S.H.I.
Febi Yonesta, S.H.,
Arip Yogiawan, S.H.
Donal Fariz, S.H.
Lalola Easter, S.H.
Yunita, S.H., LL.M.
Eny Rofiatul N., S.H.
Nelson Ferdinand Saragih, S.H.
Anggi Sitorus, S.H., M.H.,
Citra Referandum, S.H.
Ayu Eza Tiara, S.H., S.Sy.

Alghiffari Aqsa, S.H.
Tommy Albert M. Tobing, S.H.
Pratiwi Febry, S.H.
Nelson Nikodemus Simamora, S.H.
Arif Maulana, S.H., M.H.
Bunga M.R. Siagian, S.H.
Oky Wiratama S., S.H.
Matthew Michelle Lenggu, S.H.
Alldo Fellix Januardy, S.H.
Jane Aileen, S.H., LL.M.

Kesemuanya adalah Advokat dan/atau Pengabdi Bantuan Hukum, yang tergabung dalam TIM ADVOKASI SELAMATKAN KPK DARI ANGKET DPR, memilih domisili hukum di Kantor YLBHI di Jalan Diponegoro Nomor 74 Jakarta Pusat Telp. 021-3929840, Fax. 021-31930140, dalam hal ini bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama:


1.
Nama
:
DR. Busyro Muqoddas

TTL

Yogyakarta, 17 Juli 1952

Alamat
:
Tegalsari UH VI/I 13, Yogyakarta

Pekerjaan
:
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kewarganegaraan
:
Indonesia

Nomor NPWP
:
08.961.601.5-541.000

Selanjutnya disebut ________________________________________________PEMOHON I




2.
YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM INDONESIA, Badan Hukum Yayasan berkedudukan di Jakarta Pusat, yang telah terdaftar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor : AHU-7352.AH.01.04 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Yayasan Berdasarkan Akta Notaris Dr. Irawan Soerodjo, S.H., M.Si. Nomor 186 tanggal 19 Oktober 2011, berkedudukan di Jalan Diponegoro No. 74 Menteng, Jakarta Pusat, yang kemudian diperbaiki dan/atau diubah dengan Keputusan  Menteri Hukum dan HAM  Nomor : AHU-AH.01.06-0005353 Tentang Penerimaan Perubahan Data berdasarkan Akta Notaris Nomor 21, Tanggal 23 Mei 2017 Yang dibuat oleh Notaris Titi Indrasari, SH,
Dalam hal ini diwakili oleh :

Nama
:
Asfinawati, S.H.

TTL
:
Bitung, 26 November 1976

Alamat
:
Jl. Laksamana Martadinata III, RT/RW 001/002, Kelurahan Kota Lama, Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur

Jabatan
:
Ketua Umum Pengurus

Kewarganegaraan
:
Indonesia





Nama
:
Siti Rakhma Mary Herwati, S.H., M.Si., M.A.

TTL
:
Semarang, 16 Februari 1977

Alamat
:
Jl. Tlogo Biru II, RT/RW 015/027, Desa Tlogosari Kulon,  Kecamatan Pedurungan Kulon, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah

Jabatan
:
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan

Kewarganegaraan
:
Indonesia

Selanjutnya disebut _______________________________________________PEMOHON II




3.
KONFEDERASI PERSATUAN BURUH INDONESIA (KPBI), Organisasi Serikat Buruh/Serikat Pekerja sebagaimana dimaksud dalam UU 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Buruh, dengan Tanda Bukti Pencatatan Pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Utara Nomor 2201/X/FSP/III/2016 Tanggal 03 Oktober 2016, dalam hal ini diwakili oleh :

Nama
:
ILHAMSYAH

TTL
:
Payakumbuh, 11 Mei 1972

Alamat
:
Jl. Margasatwa No. 72, RT/RW 004/001, Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta

Jabatan
:
Ketua Umum

Kewarganegaraan
:
Indonesia





Nama
:
DAMAR PANCA MULYA

TTL
:
Jakarta, 23 November 1983

Alamat
:
Gg. Nanggala No.45, RT/RW 006/003, Kelurahan Tengah, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta,

Jabatan
:
Sekretaris Jenderal

Kewarganegaraan
:
Indonesia  

Selanjutnya disebut ______________________________________________PEMOHON III




4.
Indonesia Corruption Watch,

Nama
:
Adnan Topan Husodo

TTL
:
Semarang, 5 Mei 1976

Alamat
:
Bukit Pamulang Indang B12/5 RT 01/RW 09 Pamulang Barat, Tangerang Selatan

Jabatan
:
Koordinator ICW

Kewarganegaraan
:
Indonesia

Selanjutnya disebut _______________________________________________PEMOHON IV


Untuk selanjutnya, secara keseluruhan pemohon tersebut disebut PARA PEMOHON. Para Pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang pada pokoknya sebagai berikut:


A. Pendahuluan
Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] telah membentuk panitia khusus hak angket berdasarkan ketentuan Pasal 79 ayat (3), Pasal 199 ayat (3), dan Pasal 201 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [selanjutnya disingkat MD3]. Namun proses hak angket itu bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalitas hak angket. Proses hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [selanjutnya disingkat KPK] bergulir ke arah yang sangat politis dan berupaya mencampuri urusan penegakan hukum. Panitia Angket merasa berhak untuk melakukan penyelidikan terhadap KPK dan terhadap segala proses hukum yang sedang dijalankan KPK.
Hak angket terhadap KPK diusulkan oleh 26 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 19 April 2017 lalu. Patut diduga Usulan ini tentu saja sulit menghindari logika bahwa hak angket tersebut berkaitan dengan keinginan politisi DPR yang terlibat kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-El) untuk mendapatkan informasi dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dan Rekaman pemeriksaan terhadap saudara Miriyam S Haryani, salah satu anggota DPR yang terlibat kasus korupsi KTP-El.
Jika dilihat keterkaitan kasus KTP-El dengan beberapa nama di DPR, maka dapat direlasikan keinginan DPR memaksa menggunakan hak angket merupakan upaya mengintervensi penegakkan hukum dan menyalahgunakan kewenangannya. Bukan tidak mungkin, modus menggunakan hak angket adalah pola baru untuk menyerang KPK dan menghalang-halangi proses pemberantasan korupsi. Hal itu terbukti dari rencana DPR untuk memanggil pihak-pihak terkait korupsi KTP-El, baik saksi, terdakwa, termasuk Pimpinan, Penyidik, hingga Juru Bicara KPK.

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1.       Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;

2.       Bahwa selanjutnya Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum;

3.       Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau kewenangannya untuk melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD RI tahun 1945;

4.       Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pelindung konstitusi (the guardian of constitution). Apabila terdapat UU yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan UU tersebut secara menyeluruh ataupun per pasalnya;

5.       Bahwa sebagai pelindung konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berhak memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada MK. Dalam sejumlah perkara pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi juga telah beberapa kali menyatakan sebuah bagian dari undang-undang konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsir yang diberikan Mahkamah Konstitusi atau sebaliknya, tidak konstitusional jika tidak diartikan sesuai dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi;

6.       Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka jelas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengujian ini. Bahwa oleh karena objek permohonan pengujian penafsiran ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Maka berdasarkan itu, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo;


C. Kedudukan Hukum (legal standing) Para Pemohon
Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip Negara Hukum;

Bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berfungsi antara lain sebagai “guardian” dari “constitutional rights” setiap warga negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial yang bertugas menjaga hak asasi manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga negara. Dengan kesadaran inilah, Para Pemohon kemudian memutuskan untuk mengajukan pengujian penafsiran terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945yang bertentangan dengan semangat dan jiwa serta pasal-pasal yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Bahwa dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan  konstitusionalnya  dirugikan   oleh   berlakunya    undang-undang,   yaitu :(a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”;

Bahwa mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 Perkara Nomor 11/PUU-V/2007, pemohon harus memenuhi syarat sebagai berikut;
a.     Adanya hak konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
b.     Bahwa hak konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji.
c.      Bahwa kerugian konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d.     Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e.     Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Bahwa lima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung, yang menyebutkan sebagai berikut:

“Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah Daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945 (lihat juga Lee Bridges, dkk. Dalam “Judicial Review in Perspective, 1995, Halaman 59).


Bahwa, berdasarkan ketentuan undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, selanjutnya kami akan menjelaskan kedudukan hukum masing-masing Pemohon:

C.1. Bahwa PEMOHON I adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang membayar pajak kepada Negara, menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal yang diuji pada perkara ini dalam UU MD3 karena:

1)     Panitia khusus hak angket bekerja dengan menggunakan anggaran negara sebesar 3,1  Milyar Rupiah. Anggaran tersebut berasal dari APBN yang sumber utamanya adalah pajak yang dibayarkan oleh warga negara termasuk oleh Pemohon I.  Penggunaan APBN oleh Panitia Khusus berpotensi menciptakan penyimpangan penggunaan Pajak untuk kepentingan yang berlawanan dengan tujuan pemungutan pajak dari warga negara;
2)     Panitia Khusus Hak Angket berpotensi memperlemah kerja-kerja KPK dan pemberantasan korupsi sehingga berpotensi mengganggu tujuan negara untuk menyejahterakan warga negara termasuk Pemohon I.


C.2. Bahwa PEMOHON II adalah Badan Hukum Indonesia bernama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia adalah suatu lembaga yang telah terdaftar dengan Akte Notaris  Nomor 186 tanggal 19 Oktober 2011 di Jakarta oleh Notaris Dr. Irawan Soerodjo, SH, MSi.

Dalam  pasal  3  Anggaran  Dasar  PEMOHON  II dinyatakan  bahwa  Yayasan  ini bertujuan untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat luas yang tidak mampu tanpa membedakan agama, keturunan, suku, keyakinan politik, jenis kelamin maupun latar belakang sosial budaya; Menumbuhkan, mengembangkan dan memajukan pengertian dan penghormatan  terhadap nilai-nilai negara hukum dan martabat serta hak-hak asasi manusia pada umumnya dan meninggikan kesadaran hukum dalam masyarakat pada khususnya, baik kepada pejabat maupun warga negara biasa, agar supaya mereka sadar akan hak-hak dan kewajibannya sebagai subjek hukum; Berperan aktif dalam proses pembentukan hukum, penegakan hukum dan pembaharuan hukum sesuai dengan konstitusi yang berlaku dan Deklarasi  Umum  Hak-Hak  Asasi  Manusia  (Universal  Declaration of Human Rights); Memajukan dan mengembangkan program-program yang mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan gender dengan fokus tetapnya pada bidang hukum; Menyelenggarakan pemberian bantuan hukum, di dalam maupun di luar pengadilan, termasuk nasehat hukum (konsultasi), pembelaan, mewakili kepentingan umum, negosiasi, mediasi, konsiliasi (Alternative Dispute Resolution) maupun arbitrase; Menyelenggarakan pendidikan dan penerangan hukum kepada masyarakat tentang pengertian hukum dalam arti seluas-luasnya dengan bentuk dan cara-cara antara lain kursus-kursus, ceramah-ceramah, konferensi-konferensi, seminar, workshop, panel diskusi, penerbitan buku-buku, majalah, brosur, pamflet dan lain sebagainya; Mengajukan pendapat baik berupa usul-usul, kritik-kritik maupun komentar tentang masalah-masalah hukum kepada lembaga yang berwenang di bidang yudikatif, legislatif, maupun eksekutif serta kepada masyarakat luas; Mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga dan/atau instansi-instansi pemerintah maupun non pemerintah di dalam maupun di luar negeri; Mengadakan studi dan penelitian (research ) mengenai masalah-masalah bantuan hukum dalam arti luas yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan budaya; Mengadakan kegiatan-kegiatan sosial yang antara lain meliputi usaha meningkatkan kesadaran hukum dan kemampuan masyarakat yang tidak mampu dan/atau buta hukum untuk membela dirinya dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan yang sah menurut hukum; Memberikan bimbingan dan latihan praktek hukum bagi para sarjana, terutama sarjana hukum dan mahasiswa yang berminat dalam usaha-usaha lembaga bantuan hukum, antara lain magang dan mock trial.

Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo yang diuji dalam Permohonan ini dinilai telah merugikan Pemohon II karena:

1). YLBHI didirikan untuk mendukung upaya negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya menegaskan bahwa Negara berkewajiban menjamin pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya secara progresif sesuai dengan kemampuan negara tersebut. Korupsi mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan negara dalam pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Selain itu, Konvensi Melawan Kejahatan Terorganisir Lintas Negara menegaskan bahwa Korupsi adalah kejahatan serius (serious crime) karena dapat mempengaruhi pemenuhan hak ekonomi sosial budaya. Hak ekonomi sosial dan budaya telah diakui pula dalam Konstitusi Pasal 28 huruf a s.d. i, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34. Hak Angket oleh DPR RI kepada KPK berpotensi mengganggu Negara dalam pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya yang diperjuangkan oleh YLBHI;
2). Hak Angket terhadap KPK berpotensi mengacaukan konstruksi negara hukum dalam hal sistem check and balances antar lembaga negara dimana kewenangan angket oleh DPR semestinya hanya ditujukan untuk mengawasi kebijakan dan/ atau pelaksanaan UU oleh Pemerintah bukan pada proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK. Padahal kewenangan DPR tidak termasuk untuk menyelidiki lembaga independen seperti KPK. 

C.3. Bahwa PEMOHON III adalah Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia yang merupakan konfederasi yang tercatat secara sah dalam Surat No. 4954/1.838  Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Utara mengenai Surat Tanda Bukti Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). KPBI memiliki 8 Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan kurang lebih 137 Serikat Buruh Anggota yang tersebar di 12 Provinsi di Indonesia.

Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo yang diuji dalam Permohonan ini dinilai telah merugikan Pemohon III karena:


1)    KPBI dan seluruh anggotanya sudah sejak lama aktif dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi melalui kegiatan-kegiatan diskusi, aksi dan kampanye.
2)    Alinea ke empat Pembukaan Anggaran Dasar KPBI menyatakan “Bahwa buruh  sebagai bagian dari rakyat Indonesia berkewajiban untuk secara aktif berperan dalam menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia”. Tujuan kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana Pembukaan UUD 1945 adalah: “untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
3)    Perilaku dan praktik tindak pidana korupsi sangat mengganggu kewajiban KPBI untuk berperan aktif dalam ikut menentukan arah pembangunan dan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia;
4)    Tujuan Pendirian KPBI sebagaimana Pasal 7 ayat (4) Anggaran Dasar dan Ruman Tangga KPBI adalah untuk:Meningkatkan kesejahteraan anggota dengan berbagai cara, termasuk melalui Perjanjian-Perjanjian Kerja Bersama maupun dengan mempengaruhi kebijakan pemerintah di bidang perburuhan”. Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa yang secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi  kesejahteraan buruh dan keluarganya sehingga menghambat upaya KPBI untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
5)     Pada tahun 2012, hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, Imas Dianasari, divonis bersalah karena menerima suap dari pengusaha. Kasus tersebut ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal seperti inilah yang menjadi alasan KPBI untuk terus mendukung KPK dan upaya pemberantasan korupsi  karena korupsi peradilan sangat merugikan buruh, khususnya buruh yang sedang mencari keadilan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.  

Oleh karena itu penting bagi KPBI untuk mencegah pelemahan KPK dengan melakukan permohonan pengujian penafsiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ke Mahkamah Konstitusi.

C.4. Bahwa PEMOHON IV adalah Badan Hukum Indonesia bernama Perkumpulan Indonesia Corruption Watch yang terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor: 193/A.DLL/HKM/2009 PN Jakarta Selatan tanggal 31 Agustus 2001 dengan Akte Notaris Nomor 53 tanggal 11 Juni 2009 oleh Kantor Notaris H. Rizul Sudarmadi, SH. SK Menteri Kehakiman R.I Tanggal 21 September 1999 No.C-1806 HT03.02-Th 1999;

Bahwa berdasarkan Pasal 6 Anggaran Dasar Indonesia Corruption Watch, dalam upaya memperjuangkan pemberantasan korupsi, ICW memiliki visi: Menguatnya posisi tawar rakyat yang teroganisir dalam mengontrol negara dan turut serta dalam pengambilan keputusan serta mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, bebas korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial dan jender.

Bahwa sejak dibentuk, PEMOHON IV secara rutin melakukan kegiatan-kegiatan untuk berperan serta dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kinerja parlemen yang kerap memanfaatkan kewenangannya demi kepentingan pribadi dan partai politik, termasuk dalam hal pelaksanaan hak angket terhadap KPK yang diduga terkait dengan penyalahgunaan wewenang demi melindungi kepentingan anggota DPR yang terkait kasus yang sedang disidik, dituntut, dan diadili dalam proses hukum.  Hal itu sesuai dengan tujuan organisasi PEMOHON IV yang melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan tata kelola negara. Sesuai dengan tujuan pemberantasan korupsi adalah untuk penyelenggaran tata kelola negara yang bersih demi perwujudan kesejahteraan rakyat, maka Pemohon IV telah dirugikan dengan proses pelaksanaan hak angket oleh DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang diakibatkan oleh pasal-pasal yang diuji.

Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo yang diuji dalam Permohonan ini dinilai merugikan Pemohon IV, karena:
·      Keberadaan Pasal-pasal tersebut dinilai menyebabkan penggunaan hak angket dapat dengan mudah disalahgunakan oleh DPR demi kepentingan pribadi dan partainya. Padahal secara teori hukum tata negara, tugas DPR hanyalah untuk mengoreksi kinerja Pemerintah, namun oleh DPR kemudian disalahgunakan untuk mencampuri proses penegakan hukum yang sedang berlangsung dan/atau sedang akan berlangsung. Hal itu tentu saja telah menyimpangi prinsip-prinsip lembaga perwakilan dalam gagasan sistem presidensiil dan prinsip-prinsip konstitusional lainnya yang mengakibatkan telah terlindunginya kejahatan korupsi dalam lembaga parlemen di Tanah Air yang diakibatkan norma yang terdapat dalam undang-undang yang diuji;
·      Kerja-kerja yang telah dilakukan PEMOHON IV yang terlibat dalam pemberantasan korupsi dan pengawasan kelembagaan negara, termasuk juga kepolisian telah dijamin Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 telah DIRUGIKAN dengan keberadaan norma undang-undang yang diuji;
·      Keberadaan norma yang diuji menimbulkan ketidakpastian hukum yang berkeadilan yang terhadap PEMOHON IV sebagai badan hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Bahwa kerugian konstitusional PARA PEMOHON dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
a.     Menurut ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, PARA PEMOHON memiliki hak konstitusional untuk memajukan  dirinya  dalam  memperjuangkan haknya  secara  kolektif  untuk  membangun  masyarakat,  bangsa  dan negaranya.
b.     Menurut ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, PARA PEMOHON memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum;
c.      Pemohon I  sebagai individu pembayar pajak dirugikan hak konstitusionalnya terhadap ketentuan yang diuji, yaitu: UU MD3;
d.     Pemohon II, III, dan IV adalah Badan Hukum atau organisasi masyarakat sipil yang bekerja di bidang pemajuan hukum dan hak asasi manusia, pemenuhan hak-hak dan kesejahteraan buruh  serta pengawasan tata kelola pemerintahan dan upaya pemberantasan korupsi yang dirugikan hak konstitusionalnya terhadap ketentuan yang diuji yaitu: UU MD3;
e.     Para pemohon adalah individu, Konfederasi Serikat Pekerja, lembaga swadaya masyarakat yang aktif dalam bidang pemajuan hukum dan hak asasi manusia, pemenuhan hak-hak dan kesejahteraan buruh  serta pengawasan tata kelola pemerintahan dan upaya pemberantasan korupsi baik di daerah maupun secara nasional;
f.      Sebagai bagian dari masyarakat yang aktif dalam bidang pemajuan hukum dan hak asasi manusia, pemenuhan hak-hak dan kesejahteraan buruh  serta pengawasan tata kelola pemerintahan dan upaya pemberantasan korupsi, maka keberadaan pasal yang diuji dalam UU MD3 dalam permohonan ini telah merugikan PARA PEMOHON karena menghambat berjalannya tugas pemberantasan korupsi yang dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan disalahgunakannya kewenangan DPR dalam sistem pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien dan prinsip-prinsip konstitusional yang dianut UUD 1945 yang diakibatkan oleh adanya potensi penyimpangan, korupsi dan mafia kelembagaan akibat norma yang diuji dalam permohonan ini;
g.     Dalam asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 tersebut terkandung pula asas kemanfaatan. Sebagaimana yang dikemukakan Gustav Radbruch terhadap nilai-nilai hukum, penegakan perlindungan dan kepastian hukum yang adil harus mempertimbangkan asas kemanfaatan. Apabila pasal yang diuji dalam UU MD3 dalam permohonan ini tidak memiliki makna yang sesuai dengan maksud UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil tersebut, maka selain tidak menciptakan kemanfaatan bagi masyarakat juga akan menghambat tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat berdasarkan UUD 1945;

Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka PARA PEMOHON memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai PEMOHON pengujian Pasal a quo yang menyebabkan Hak Konstitusional Pemohon secara faktual ataupun potensial telah dirugikan.

D. Alasan-alasan Permohonan
D.1. Mahkamah Konstitusi perlu memaknai konstitusionalitas Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bahwa kewenangan Hak Angket DPR  tidak dapat ditujukan untuk menyelidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia;
Jika dibaca secara jernih ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 maka terang bahwa hak angket hanya dapat dilakukan untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah. Selengkapnya Pasal 79 ayat (3) tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD [MD3], hak angket merupakan kewenangan DPR melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah. Sehingga objek hak angket adalah: (i) pelaksanaan undang-undang oleh Pemerintah; dan/atau (ii) pelaksanaan kebijakan Pemerintah. Dengan kata lain, angket (inquiry rights) merupakan instrumen DPR untuk menyelenggarakan fungsi investigatif yang merupakan bagian dari fungsi pengawasan terhadap implementasi peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan yang dilaksanakan Pemerintah [Sikap Akademik Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara].
Dalam sikap akademik Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara [APHTN-HAN] terkait polemik hak angket DPR terhadap KPK itu dijelaskan bahwa bentuk kata “dan/atau” dalam pasal tersebut merupakan ketentuan yang lumrah dalam bahasa perundang-undangan. Kata “dan/atau” itu menjelaskan konsep alternatif-kumulatif terhadap dua norma atau lebih. Maksudnya norma-norma tersebut dapat dilaksanakan tunggal atau bersamaan sekaligus. Dalam konteks pasal tersebut di atas bentuk kata “dan/atau” mengarah kepada tindakan subjek yang sama, yaitu pemerintah.
Jadi DPR dapat melakukan penyelidikan baik terhadap pelaksanaan undang-undang saja yang dilakukan pemerintah atau terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah saja secara terpisah. Tetapi juga dapat dilakukan baik terhadap pelaksanaan undang-undang sekaligus terhadap kebijakan yang dilakukan Pemerintah. Sederhananya, DPR dapat melakukan penyelidikan terhadap:
1.     pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah;
2.     pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah;
3.     pelaksanaan undang-undang dan sekaligus pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah.

Jelas dalam pasal tersebut bahwa yang dimaksudkan diselidiki oleh DPR atau segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan pemerintah sebagai lembagai eksekutif. Itu sebabnya, proses hak angket terhadap kinerja KPK tidak beralasan karena objek hak angket bukanlah tindakan KPK, tetapi pemerintah dalam hal ini segala hal yang berkaitan dengan tindakan presiden dan bawahannya.
Dari argumentasi itu, maka DPR telah salah memahami konsep kata “alternatif-kumulatif” dalam peraturan perundang-undangan atau sengaja melakukan penyalahgunaan kewenangan hak angket itu. DPR memaknai bahwa seluruh pelaksanaan undang-undang dapat dilakukan penyelidikan oleh DPR.
            Pemahaman itu tentu janggal karena apabila seluruh lembaga negara yang melaksanakan undang-undang dapat diselidiki oleh DPR, maka lembaga peradilan sebagai pelaksana undang-undang juga dapat dipanggil untuk diselidiki oleh DPR segala tindakannya dalam melaksanakan seluruh ketentuan undang-undang. Padahal lembaga kekuasaan kehakiman adalah lembaga yang merdeka dalam menjalankan fungsinya. Secara konstitusional, KPK diatur sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945  sebagai badan-badan lain yang menjalankan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Sejalan dengan itu, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang menjalankan tugas dan wewenangnya secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
            Lebih lanjut lagi Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya penafsir tunggal (the sole interpreter of constitution) dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006  Hal. 269 KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important) dan termasuk dalam lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
            Jika DPR memahami Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945, Pasal 79 ayat (3) UU MD3, dan Pasal 3 UU KPK, maka lembaga legislatif itu tidak akan melakukan intervensi terhadap KPK melalui hak angket. Namun politik yang kotor dapat saja mengabaikan hal tersebut demi merusak upaya pemberantasan korupsi.
D.2. Mahkamah Konstitusi perlu untuk menafsirkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bahwa kewenangan Hak Angket DPR  terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia tidak memenuhi unsur hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Selain hak angket untuk KPK bukanlah kewenangan DPR, hak angket terhadap KPK memiliki kelemahan substansial. Kelemahan itu berkaitan dengan objek yang dipermasalahkan. Berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 disebutkan bahwa objek yang dipermasalahkan untuk diselidiki oleh DPR adalah terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang harus memenuhi tiga kondisi, yaitu:
(i)            hal penting;
(ii)          strategis; dan
(iii)         berdampak luas pada kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Pada bagian ini ketiga kondisi itu haruslah kumulatif. Artinya, jika digunakan teori perundang-undangan, kata “dan” dalam kalimat perundang-undang itu memperjelas bahwa kondisi yang harus dipenuhi untuk menggulirkan hak angket adalah kondisi kumulatif. Artinya, seluruh kondisi tersebut harus terpenuhi. Hak angket harus dijalankan terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan jika tiga kondisi itu penting, strategis, dan berdampak luas, maka harus tekait dengan masyarakat, bangsa, dan negara yang bertentangan dengan undang-undang.
Hak angket itu lebih terlihat memperjuangkan kepentingan politik untuk intervensi proses peradilan kasus korupsi KTP-el yang sedang berlangsung di pengadilan tindak pidana korupsi. Dengan demikian objek yang diusung DPR untuk menyelidiki proses berperkara di KPK jauh dari yang ditentukan undang-undang. Kepentingan penyelidikan melalui hak angket adalah kepentingan partai politik dan anggota DPR yang terlibat perkara KTP-El.

D.3. Mahkamah Konstitusi perlu menafsirkan Pasal 199 ayat (3) mengikat DPR untuk dilaksanakan dengan kejelasan jumlah anggota DPR yang setuju dan tidak setuju dan ditentukan dalam secara jelas dalam persidangan
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, proses hak angket ditentukan Pasal 20A Ayat (2) dan Ayat (4) UUD 1945. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam UU MD3. Pasal 79 ayat (1) huruf b dan ayat (3) UU MD3 telah membatasi hak angket untuk subjek dan objek tertentu. DPR tidak memedulikan ketentuan itu dan tetap menjalankan hak angket. Namun terdapat beberapa ketentuan yang perlu dipahami bersama terkait hak angket, yaitu:
(i)            pengajuan usul hak angket;
(ii)          prosedur pengesahan hak angket; dan
(iii)         pembentukan panitia angket

Pengajuan usul hak angket ditentukan Pasal 199 ayat (1) dan Pasal 200 ayat (1) UU MD3 yang mensyaratkan bahwa usul diajukan paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR yang berasal lebih dari 1 (satu) fraksi kepada Pimpinan DPR. Usul itu harus disertai dengan (i) materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang- undang yang akan diselidiki; dan (ii) alasan penyelidikan. Perihal itu telah dicukupi DPR dengan diusulkannya hak angket oleh 26 (dua puluh enam) orang anggota dewan dengan disertai alasan pengajuan usul tersebut.
            Usul yang diajukan 26 orang tersebut dapat menjadi hak angket apabila disahkan dalam rapat paripurna DPR. Berdasarkan Pasal 199 ayat (3) UU MD3, pengesahan hak angket harus memenuhi kuorum kehadiran dan kuorum pengambilan keputusan. Untuk dapat disahkannya hak angket, anggota DPR yang hadir harus minimal 1/2 (satu per dua) dari jumlah keseluruhan anggota dewan, yaitu minimal 280 orang (dari 560 orang) anggota. Jikapun jumlah kuorum itu telah dipenuhi DPR, maka untuk mengesahkannya maka harus diambul voting lebih dari 1/2 dari minimal 280 anggota DPR yang hadir tersebut. Jadi setidaknya harus terdapat 140 orang anggota DPR yang menyetujui digulirkannya hak angket.
            Dalam pelaksanaannya, DPR tidak memenuhi prosedur pengesahan hak angket yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 199 ayat (3) UU MD3. Akibatnya hak angket tidak sah dengan demikian proses pembentukan panitia angket harus dianggap tidak sah. Apalagi panitia angket harus terdiri dari seluruh unsur fraksi yang ada di DPR. Berdasarkan Pasal 201 ayat (2) UU MD3 maka setidaknya seluruh fraksi mengirimkan perwakilan fraksinya sebagai anggota panitia angket. Apabila tidak terpenuhi maka tentu saja panitia angket tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan undang-undang sehingga harus dianggap tidak memenuhi kriteria.
Dalam Provisi
1). Seiring dengan terus bergulirnya angket DPR RI terhadap KPK, kerja pemberantasan korupsi, khususnya dalam penindakan perkara korupsi akan terganggu.
2). Implikasi dari tetap dilanjutkannya angket DPR RI terhadap KPK, mengakibatkan ketidakpastian hukum terus terjadi, juga akan menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan hak angket oleh DPR. Ke depannya, DPR RI dapat menggunakan hak angket untuk menyelidiki lembaga negara yang tidak termasuk sebagai bagian dari eksekutif, dan bahkan mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan.
3). Berdasarkan Pasal 206 ayat (1) UU MD3 disebutkan bahwa, Panitia Angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat parpurna DPR paling lama 60 hari sejak dibentuknya panitia angket. Sehingga, panitia khusus angket KPK diperkirakan akan berakhir pada 30 Agustus 2017, sejak pembentukannya pada 30 Mei 2017.
4). Di dalam Pasal 58 UU MK mengatur bahwa Putusan Mahkamah tidak berlaku surut, maka untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon, Pemohon memohon agar Majelis Hakim Konstitusi menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan DPR RI untuk tidak melanjutkan proses angket terhadap KPK.
5). Walaupun UU MK tidak mengatur secara spesifik mengenai Putusan Sela, menurut Pemohon, undang-undang tidak melarang Mahkamah Konstitusi untuk mengintrodusir mekanisme ini dalam perkara pengujian undang-undang. MK sendiri sudah beberapa kali mengeluarkan putusan sela dalam beberapa permohonan penyelesaian sangketa pilkada, begitu pula untuk permohonan uji materiil. Salah satunya adalah putusan sela dalam permohonan uji materiil Nomor 133/ PUU-VII/ 2009, yang diajukan oleh Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.
6). Permohonan provisi ini penting untuk diajukan oleh para Pemohon untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum atas proses angket yang sedang dijalankan terhadap KPK. Apabila DPR RI tetap melanjutkan proses angket, maka kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK -khususnya dalam hal penindakan perkara korupsi-, akan terganggu sehingga hak konstitusional para Pemohon menjadi terlanggar secara aktual. Dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami berpendapat bahwa Majelis Mahkamah Konstitusi yang Terhormat berwenang untuk menjatuhkan putusan Provisi dalam perkara a quo.
BERTENTANGAN DENGAN PRINSIP NEGARA HUKUM, SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 1 AYAT (3) UUD 1945
1.     Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum. Penegasan ketentuan konstitusi ini bermakna, bahwa segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.
2.     Konsesus ini membentuk Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (maachtstaat). Seluruh tindakan-tindakan aparatur negara harus berdasarkan acuan hukum dan ketentuan perundang-undangan.
3.     Bahwa tindakan DPR yang menggulirkan angket dengan cara menafsirkan secara sepihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai subyek angket (Pasal 79 Ayat (3) ) menujukkan arogansi kekuasaan yang tidak berdasarkan hukum.
4.     Bahwa DPR tidak hanya mengabaikan ketentuan Pasal 79 Ayat 3 yang mengatur definisi angket, akan tetapi mekanisme persetujuan penggunaan hak angket juga bertentangan dengan ketentuan pasal 199 Ayat (3) UU MD3.
5.     Bahwa point 3 dan 4 di atas menunjukkan tindakan DPR untuk menggulirkan angket merupakan tindakan yang menunjukkan arogansi kelembagaan yang tidak berdasarkan hukum, sehingga bertentangan dengan pasal 1 Ayat (3) UU 1945.
BERTENTANGAN DENGAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM, SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 28 D AYAT (1) UUD 1945
1.     Bahwa Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

  1. Bahwa kepastian hukum dan perlakuan yang sama di muka hukum merupakan salah satu ciri pokok dari negara hukum atau the rule of law

  1. Bahwa asas kepastian hukum menjadi salah ciri dari negara hukum—the rule of law, yang di dalamnya mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi. Sebagaimana diketahui bahwa ciri-ciri negara hukum adalah, a legal system in which rules are clear, well-understood, and fairly enforced;

  1. Bahwa kepastian hukum (certainty), salah satunya mengandung pengertian bahwa hukum haruslah dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan.

  1. Bahwa menurut Gustav Radbruch, cita hukum (Idee des Rechts)—yang dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum, harus memenuhi tiga prinsip umum, yaitu: purposiveness—kemanfaatan (Zweckmassigkeit), justice—keadilan (Gerechtigkeit), dan legal certainty—kepastian hukum (Rechtssicherheit). Ketiga unsur tersebut haruslah terdapat dalam hukum, baik undang-undang maupun putusan hakim, secara proporsional atau berimbang, jangan sampai salah satu unsurnya tidak terakomodasi, atau satu mendominasi yang lain;

  1. Bahwa menurut penjelasan Radbruch, untuk membuat hukum yang benar-benar proporsional, sesungguhnya sangatlah sulit, karena cita hukum yang satu dengan yang lain, pada dasarnya memiliki nilai-nilai yang saling bertentangan—kontradiksi (antinomi), misalnya antara kepastian dan keadilan. Oleh karenanya, hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat hukum, haruslah perimbangan dari beragam pertentangan—antinomi, seperti halnya formulasi antara kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.

  1. Bahwa prinsip-prinsip pembentukan hukum yang adil menurut Lon Fuller dalam bukunya The Morality of Law (moralitas Hukum), diantaranya yaitu:
a)             Hukum-hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat biasa. Fuller juga menamakan hal ini juga sebagai hasrat untuk kejelasan;
b)            Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
c)             Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu, sehingga setiap orang tidak lagi mengorientasikan kegiatannya kepadanya;
d)            Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan senyatanya.
8.     Bahwa ketidakjelasan objek angket yang diatur dalam pasal 79 ayat (3) UU MD3 pada akhirnya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.


E. Petitum
Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, maka para Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Materil  sebagai berikut:

Dalam Provisi
Menghentikan seluruh proses panitia khsus terhadap KPK sampai ada putusan akhir Mahkamah terhadap pokok permohonan a quo.

Dalam Pokok Perkara :
1.     Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan PARA PEMOHON;

2.     Menyatakan:
a.     Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (3) dan Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tidak dapat dilakukan penyelidikan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.”
b.     Pasal 199 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “harus terdapat mekanisme penghitungan yang jelas terhadap anggota yang setuju dan tidak terhadap pemberlakuan hak angket sebagai bagian dari mekanisme voting.”
c.      Pasal 201 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “keberadaan semua unsur fraksi dalam panitia angket harus dibuktikan melalui surat resmi sebagai perwakilan unsur partai. Apabila tidak terdapat surat resmi sebagai perwakilan unsur partai, maka panitia khusus dianggap batal demi hukum pembentukannya.”

3.     Bilamana Majelis Hakim pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya—ex aequo et bono


Jakarta, Juni 2017
Hormat kami,
TIM ADVOKASI SELAMATKAN KPK DARI ANGKET DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar