Pendaftaran judicial review hak angket ke Mahkamah Konstitusi, 20 Juli 2017 |
Jakarta, 19 Juli 2017
Kepada yang Terhormat,
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
di Jalan Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat 10110
Perihal:
|
Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
|
Dengan hormat,
Perkenankanlah kami:
Muhamad Isnur, S.H.I.
Febi Yonesta, S.H.,
Arip Yogiawan, S.H.
Donal Fariz, S.H.
Lalola Easter, S.H.
Yunita,
S.H., LL.M.
Eny
Rofiatul N., S.H.
Nelson
Ferdinand Saragih, S.H.
Anggi
Sitorus, S.H., M.H.,
Citra
Referandum, S.H.
Ayu
Eza Tiara, S.H., S.Sy.
|
Alghiffari Aqsa, S.H.
Tommy
Albert M. Tobing, S.H.
Pratiwi Febry, S.H.
Nelson Nikodemus Simamora, S.H.
Arif Maulana, S.H., M.H.
Bunga
M.R. Siagian, S.H.
Oky
Wiratama S., S.H.
Matthew
Michelle Lenggu, S.H.
Alldo
Fellix Januardy, S.H.
Jane
Aileen, S.H., LL.M.
|
Kesemuanya adalah Advokat dan/atau Pengabdi Bantuan Hukum, yang tergabung dalam TIM ADVOKASI
SELAMATKAN KPK DARI ANGKET DPR, memilih domisili hukum di Kantor YLBHI
di Jalan Diponegoro Nomor 74 Jakarta Pusat Telp. 021-3929840, Fax. 021-31930140, dalam
hal ini bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama:
1.
|
Nama
|
:
|
DR. Busyro Muqoddas
|
|
TTL
|
|
Yogyakarta, 17 Juli 1952
|
|
Alamat
|
:
|
Tegalsari UH VI/I 13, Yogyakarta
|
|
Pekerjaan
|
:
|
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
|
|
Kewarganegaraan
|
:
|
Indonesia
|
|
Nomor NPWP
|
:
|
08.961.601.5-541.000
|
|
Selanjutnya disebut ________________________________________________PEMOHON I
|
||
|
|
|
|
2.
|
YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM INDONESIA, Badan Hukum Yayasan berkedudukan di Jakarta
Pusat, yang telah terdaftar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM
Republik Indonesia Nomor : AHU-7352.AH.01.04 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Yayasan Berdasarkan Akta Notaris Dr. Irawan Soerodjo, S.H., M.Si. Nomor 186
tanggal 19 Oktober 2011, berkedudukan di Jalan Diponegoro No. 74 Menteng,
Jakarta Pusat, yang kemudian diperbaiki dan/atau diubah dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor : AHU-AH.01.06-0005353 Tentang
Penerimaan Perubahan Data berdasarkan Akta Notaris Nomor 21, Tanggal 23 Mei
2017 Yang dibuat oleh Notaris Titi Indrasari, SH,
Dalam hal ini diwakili oleh :
|
||
|
Nama
|
:
|
Asfinawati, S.H.
|
|
TTL
|
:
|
Bitung, 26 November 1976
|
|
Alamat
|
:
|
Jl. Laksamana Martadinata III, RT/RW 001/002, Kelurahan Kota
Lama, Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur
|
|
Jabatan
|
:
|
Ketua Umum Pengurus
|
|
Kewarganegaraan
|
:
|
Indonesia
|
|
|
|
|
|
Nama
|
:
|
Siti Rakhma Mary Herwati, S.H., M.Si., M.A.
|
|
TTL
|
:
|
Semarang, 16 Februari 1977
|
|
Alamat
|
:
|
Jl. Tlogo Biru II, RT/RW 015/027, Desa Tlogosari Kulon, Kecamatan Pedurungan Kulon, Kota Semarang,
Provinsi Jawa Tengah
|
|
Jabatan
|
:
|
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan
|
|
Kewarganegaraan
|
:
|
Indonesia
|
|
Selanjutnya disebut _______________________________________________PEMOHON II
|
||
|
|
|
|
3.
|
KONFEDERASI
PERSATUAN BURUH INDONESIA (KPBI), Organisasi Serikat Buruh/Serikat Pekerja sebagaimana
dimaksud dalam UU 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Buruh, dengan Tanda
Bukti Pencatatan Pada Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota
Administrasi Jakarta Utara Nomor 2201/X/FSP/III/2016 Tanggal 03 Oktober 2016,
dalam hal ini diwakili oleh :
|
||
|
Nama
|
:
|
ILHAMSYAH
|
|
TTL
|
:
|
Payakumbuh, 11 Mei 1972
|
|
Alamat
|
:
|
Jl. Margasatwa No. 72, RT/RW 004/001, Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, Provinsi DKI
Jakarta
|
|
Jabatan
|
:
|
Ketua Umum
|
|
Kewarganegaraan
|
:
|
Indonesia
|
|
|
|
|
|
Nama
|
:
|
DAMAR PANCA MULYA
|
|
TTL
|
:
|
Jakarta, 23 November 1983
|
|
Alamat
|
:
|
Gg. Nanggala No.45, RT/RW 006/003, Kelurahan Tengah,
Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta,
|
|
Jabatan
|
:
|
Sekretaris Jenderal
|
|
Kewarganegaraan
|
:
|
Indonesia
|
|
Selanjutnya disebut ______________________________________________PEMOHON III
|
||
|
|
|
|
4.
|
Indonesia Corruption Watch,
|
||
|
Nama
|
:
|
Adnan Topan Husodo
|
|
TTL
|
:
|
Semarang, 5 Mei 1976
|
|
Alamat
|
:
|
Bukit Pamulang Indang B12/5 RT 01/RW 09 Pamulang Barat, Tangerang
Selatan
|
|
Jabatan
|
:
|
Koordinator ICW
|
|
Kewarganegaraan
|
:
|
Indonesia
|
|
Selanjutnya disebut _______________________________________________PEMOHON IV
|
Untuk selanjutnya,
secara keseluruhan pemohon tersebut disebut PARA PEMOHON. Para Pemohon dengan ini mengajukan permohonan
pengujian UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang pada pokoknya sebagai berikut:
A. Pendahuluan
Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] telah membentuk
panitia khusus hak angket berdasarkan ketentuan Pasal 79 ayat (3), Pasal 199
ayat (3), dan Pasal 201 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [selanjutnya disingkat MD3]. Namun
proses hak angket itu bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalitas
hak angket. Proses hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi [selanjutnya disingkat KPK] bergulir ke arah yang sangat politis dan
berupaya mencampuri urusan penegakan hukum. Panitia Angket merasa berhak untuk
melakukan penyelidikan terhadap KPK dan terhadap segala proses hukum yang
sedang dijalankan KPK.
Hak angket terhadap KPK diusulkan oleh 26 orang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pada 19 April 2017 lalu. Patut diduga Usulan ini tentu
saja sulit menghindari logika bahwa hak angket tersebut berkaitan dengan
keinginan politisi DPR yang terlibat kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk
Elektronik (KTP-El) untuk mendapatkan informasi dalam Berkas Acara Pemeriksaan
(BAP) dan Rekaman pemeriksaan terhadap saudara Miriyam S Haryani, salah satu
anggota DPR yang terlibat kasus korupsi KTP-El.
Jika dilihat keterkaitan kasus KTP-El dengan beberapa nama di
DPR, maka dapat direlasikan keinginan DPR memaksa menggunakan hak angket
merupakan upaya mengintervensi penegakkan hukum dan menyalahgunakan
kewenangannya. Bukan tidak mungkin, modus menggunakan hak angket adalah pola
baru untuk menyerang KPK dan menghalang-halangi proses pemberantasan korupsi. Hal
itu terbukti dari rencana DPR untuk memanggil pihak-pihak terkait korupsi
KTP-El, baik saksi, terdakwa, termasuk Pimpinan, Penyidik, hingga Juru Bicara
KPK.
B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1.
Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD
1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”;
2.
Bahwa selanjutnya Pasal 24 C ayat (1)
Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik
dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”;
3.
Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah
Konstitusi mempunyai hak atau kewenangannya untuk melakukan pengujian
undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) yang
juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji
undang-undang (UU) terhadap UUD RI tahun 1945”;
4.
Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pelindung konstitusi
(the guardian of constitution).
Apabila terdapat UU yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka Mahkamah
Konstitusi dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan UU tersebut secara
menyeluruh ataupun per pasalnya;
5.
Bahwa sebagai pelindung konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga
berhak memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal
undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah
Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-undang tersebut
merupakan tafsir satu-satunya (the sole
interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga
terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi
tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada MK. Dalam sejumlah perkara
pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi juga telah beberapa kali
menyatakan sebuah bagian dari undang-undang konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang
ditafsirkan sesuai dengan tafsir yang diberikan Mahkamah Konstitusi atau
sebaliknya, tidak konstitusional jika tidak diartikan sesuai dengan penafsiran
Mahkamah Konstitusi;
6.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka jelas Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia berwenang untuk memeriksa dan mengadili
permohonan pengujian ini. Bahwa oleh karena objek permohonan pengujian
penafsiran ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, DAN DPRD
(MD3) terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Maka berdasarkan itu,
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo;
C. Kedudukan Hukum (legal standing) Para Pemohon
Bahwa pengakuan hak setiap warga negara
Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan satu indikator perkembangan
ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan
prinsip-prinsip Negara Hukum;
Bahwa Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, berfungsi antara lain sebagai “guardian”
dari “constitutional rights” setiap
warga negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia merupakan badan yudisial yang bertugas menjaga hak asasi manusia
sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga negara. Dengan kesadaran inilah, Para
Pemohon kemudian memutuskan untuk mengajukan pengujian
penafsiran terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945yang bertentangan dengan semangat dan jiwa serta
pasal-pasal yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Bahwa dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang, yaitu :(a) perorangan WNI, (b) kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c)
badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”;
Bahwa mengacu
pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 Perkara Nomor
11/PUU-V/2007, pemohon harus memenuhi syarat sebagai berikut;
a. Adanya hak konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
b. Bahwa hak konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh
Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji.
c. Bahwa kerugian konstitusional Para Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial
yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Bahwa lima
syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua
Undang-Undang Mahkamah Agung, yang menyebutkan sebagai berikut:
“Dari praktik Mahkamah (2003-2009),
perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax
payer; vide Putusan
Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-Undang
demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah Daerah, lembaga negara, dan
lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik
formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945 (lihat juga Lee Bridges, dkk. Dalam “Judicial Review in Perspective, 1995,
Halaman 59).
Bahwa, berdasarkan ketentuan undang-undang dan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut, selanjutnya kami akan menjelaskan kedudukan hukum
masing-masing Pemohon:
C.1. Bahwa PEMOHON I adalah
perorangan Warga Negara Indonesia yang
membayar pajak kepada Negara, menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal
yang diuji pada perkara ini dalam UU MD3 karena:
1) Panitia khusus hak angket bekerja
dengan menggunakan anggaran negara sebesar 3,1
Milyar Rupiah. Anggaran tersebut berasal dari APBN yang sumber utamanya
adalah pajak yang dibayarkan oleh warga negara termasuk oleh Pemohon I. Penggunaan APBN oleh Panitia Khusus berpotensi
menciptakan penyimpangan penggunaan Pajak untuk kepentingan yang berlawanan
dengan tujuan pemungutan pajak dari warga negara;
2) Panitia Khusus Hak Angket berpotensi
memperlemah kerja-kerja KPK dan pemberantasan korupsi sehingga berpotensi
mengganggu tujuan negara untuk menyejahterakan warga negara termasuk Pemohon I.
C.2.
Bahwa PEMOHON II
adalah Badan Hukum Indonesia bernama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia adalah suatu lembaga yang telah terdaftar
dengan Akte Notaris Nomor 186 tanggal 19 Oktober 2011 di Jakarta oleh Notaris Dr.
Irawan Soerodjo, SH, MSi.
Dalam
pasal 3 Anggaran
Dasar PEMOHON II dinyatakan bahwa Yayasan ini bertujuan untuk memberikan bantuan
hukum
secara cuma-cuma kepada masyarakat
luas
yang tidak mampu tanpa membedakan agama, keturunan, suku, keyakinan politik, jenis kelamin maupun latar
belakang sosial budaya; Menumbuhkan,
mengembangkan dan memajukan pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai negara hukum dan martabat serta hak-hak asasi manusia pada
umumnya dan meninggikan kesadaran hukum dalam masyarakat pada khususnya, baik kepada
pejabat maupun warga negara biasa, agar
supaya mereka sadar akan hak-hak dan
kewajibannya sebagai subjek hukum; Berperan
aktif dalam proses pembentukan hukum, penegakan hukum dan pembaharuan hukum sesuai dengan konstitusi yang
berlaku dan Deklarasi Umum Hak-Hak
Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights); Memajukan dan mengembangkan
program-program yang mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial,
ekonomi, budaya, dan gender dengan fokus tetapnya pada bidang hukum; Menyelenggarakan
pemberian bantuan hukum, di dalam maupun di luar pengadilan, termasuk nasehat
hukum (konsultasi), pembelaan, mewakili
kepentingan umum, negosiasi, mediasi, konsiliasi (Alternative Dispute Resolution) maupun arbitrase; Menyelenggarakan
pendidikan dan penerangan hukum kepada masyarakat tentang pengertian hukum
dalam arti seluas-luasnya dengan bentuk dan cara-cara antara lain
kursus-kursus, ceramah-ceramah, konferensi-konferensi, seminar, workshop, panel
diskusi, penerbitan buku-buku, majalah, brosur, pamflet dan lain sebagainya;
Mengajukan pendapat baik berupa usul-usul, kritik-kritik maupun komentar
tentang masalah-masalah hukum kepada lembaga yang berwenang di bidang
yudikatif, legislatif, maupun eksekutif serta kepada masyarakat luas;
Mengadakan kerjasama dengan lembaga-lembaga dan/atau instansi-instansi
pemerintah maupun non pemerintah di dalam maupun di luar negeri; Mengadakan
studi dan penelitian (research )
mengenai masalah-masalah bantuan hukum dalam arti luas yang berkaitan dengan
masalah-masalah sosial, ekonomi, dan budaya; Mengadakan kegiatan-kegiatan
sosial yang antara lain meliputi usaha meningkatkan kesadaran hukum dan
kemampuan masyarakat yang tidak mampu dan/atau buta hukum untuk membela dirinya
dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan yang sah menurut hukum; Memberikan
bimbingan dan latihan praktek hukum bagi para sarjana, terutama sarjana hukum
dan mahasiswa yang berminat dalam usaha-usaha lembaga bantuan hukum, antara
lain magang dan mock trial.
Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo yang diuji dalam Permohonan ini dinilai telah
merugikan Pemohon II karena:
1). YLBHI didirikan untuk mendukung upaya
negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya menegaskan bahwa Negara
berkewajiban menjamin pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya secara progresif
sesuai dengan kemampuan negara tersebut. Korupsi mengakibatkan berkurang atau
hilangnya kemampuan negara dalam pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya.
Selain itu, Konvensi Melawan Kejahatan Terorganisir Lintas Negara menegaskan
bahwa Korupsi adalah kejahatan serius (serious
crime) karena dapat mempengaruhi pemenuhan hak ekonomi sosial budaya. Hak
ekonomi sosial dan budaya telah diakui pula dalam Konstitusi Pasal 28 huruf a
s.d. i, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34. Hak Angket oleh DPR RI kepada KPK
berpotensi mengganggu Negara dalam pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya yang
diperjuangkan oleh YLBHI;
2). Hak Angket terhadap KPK berpotensi
mengacaukan konstruksi negara hukum dalam hal sistem check and balances antar
lembaga negara dimana kewenangan angket oleh DPR semestinya hanya ditujukan
untuk mengawasi kebijakan dan/ atau pelaksanaan UU oleh Pemerintah bukan pada
proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK. Padahal kewenangan DPR tidak termasuk untuk menyelidiki lembaga
independen seperti KPK.
C.3. Bahwa PEMOHON
III adalah Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia yang merupakan
konfederasi yang tercatat secara sah dalam Surat No.
4954/1.838 Suku
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Utara mengenai
Surat Tanda Bukti Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh Konfederasi
Persatuan Buruh Indonesia (KPBI). KPBI memiliki 8
Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan kurang lebih 137 Serikat Buruh
Anggota yang tersebar di 12 Provinsi di Indonesia.
Bahwa keberadaan pasal-pasal
a quo yang diuji dalam Permohonan ini dinilai telah merugikan Pemohon III karena:
1)
KPBI dan seluruh anggotanya sudah sejak lama aktif dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi melalui kegiatan-kegiatan diskusi, aksi dan kampanye.
2)
Alinea ke
empat Pembukaan Anggaran Dasar KPBI menyatakan “Bahwa buruh sebagai bagian dari rakyat Indonesia
berkewajiban untuk secara aktif berperan dalam menentukan arah pembangunan yang
sesuai dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia”. Tujuan kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana Pembukaan UUD 1945
adalah: “untuk membentuk suatu pemerintah
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
3)
Perilaku dan praktik tindak
pidana korupsi sangat mengganggu kewajiban KPBI untuk berperan aktif dalam ikut
menentukan arah pembangunan dan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia;
4) Tujuan Pendirian KPBI sebagaimana Pasal 7 ayat (4) Anggaran Dasar dan Ruman Tangga KPBI adalah untuk: “Meningkatkan kesejahteraan anggota dengan berbagai cara, termasuk
melalui Perjanjian-Perjanjian Kerja Bersama maupun dengan mempengaruhi
kebijakan pemerintah di bidang perburuhan”. Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa yang secara
langsung atau tidak langsung telah
mempengaruhi kesejahteraan buruh dan keluarganya sehingga menghambat upaya KPBI untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
5)
Pada tahun 2012, hakim
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, Imas Dianasari, divonis bersalah
karena menerima suap dari pengusaha. Kasus tersebut ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal seperti inilah yang menjadi alasan KPBI
untuk terus mendukung KPK dan upaya pemberantasan korupsi karena korupsi peradilan sangat merugikan buruh, khususnya buruh yang sedang mencari keadilan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Oleh karena itu
penting bagi KPBI untuk mencegah pelemahan KPK dengan melakukan permohonan pengujian penafsiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 ke Mahkamah Konstitusi.
C.4. Bahwa PEMOHON IV adalah Badan Hukum Indonesia bernama Perkumpulan Indonesia
Corruption Watch yang terdaftar di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor: 193/A.DLL/HKM/2009 PN Jakarta
Selatan tanggal 31 Agustus 2001 dengan Akte
Notaris Nomor 53 tanggal 11 Juni 2009 oleh Kantor Notaris H. Rizul Sudarmadi, SH. SK Menteri
Kehakiman R.I Tanggal 21 September 1999 No.C-1806 HT03.02-Th 1999;
Bahwa berdasarkan
Pasal 6 Anggaran Dasar Indonesia Corruption
Watch, dalam upaya
memperjuangkan pemberantasan korupsi, ICW memiliki visi: Menguatnya posisi tawar rakyat
yang teroganisir dalam mengontrol negara dan turut serta dalam pengambilan
keputusan serta mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang demokratis, bebas korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial
dan jender.
Bahwa
sejak dibentuk, PEMOHON IV
secara rutin melakukan kegiatan-kegiatan untuk berperan serta dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pengawasan
terhadap pelaksanaan kinerja parlemen yang kerap memanfaatkan kewenangannya
demi kepentingan pribadi dan partai politik, termasuk dalam hal pelaksanaan hak
angket terhadap KPK yang diduga terkait dengan penyalahgunaan wewenang demi
melindungi kepentingan anggota DPR yang terkait kasus yang sedang disidik,
dituntut, dan diadili dalam proses hukum. Hal itu sesuai dengan tujuan organisasi
PEMOHON IV yang melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan tata
kelola negara. Sesuai dengan tujuan pemberantasan korupsi adalah untuk
penyelenggaran tata kelola negara yang bersih demi perwujudan kesejahteraan
rakyat, maka Pemohon IV telah dirugikan dengan proses pelaksanaan hak angket
oleh DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang diakibatkan oleh
pasal-pasal yang diuji.
Bahwa keberadaan pasal-pasal a
quo yang diuji dalam Permohonan ini dinilai merugikan Pemohon IV, karena:
·
Keberadaan Pasal-pasal tersebut dinilai menyebabkan penggunaan hak
angket dapat dengan mudah disalahgunakan oleh DPR demi kepentingan pribadi dan
partainya. Padahal secara teori hukum tata negara, tugas DPR hanyalah untuk
mengoreksi kinerja Pemerintah, namun oleh DPR kemudian disalahgunakan untuk
mencampuri proses penegakan hukum yang sedang berlangsung dan/atau sedang akan
berlangsung. Hal itu tentu saja telah menyimpangi prinsip-prinsip lembaga
perwakilan dalam gagasan sistem presidensiil dan prinsip-prinsip konstitusional
lainnya yang mengakibatkan telah terlindunginya kejahatan korupsi dalam lembaga
parlemen di Tanah Air yang diakibatkan norma yang terdapat dalam undang-undang
yang diuji;
·
Kerja-kerja yang telah dilakukan PEMOHON IV yang terlibat dalam pemberantasan korupsi dan pengawasan
kelembagaan negara, termasuk juga kepolisian telah dijamin Pasal 28C ayat (2)
UUD 1945 telah DIRUGIKAN dengan keberadaan norma undang-undang yang diuji;
·
Keberadaan norma yang diuji menimbulkan ketidakpastian hukum yang
berkeadilan yang terhadap PEMOHON IV sebagai badan hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa kerugian konstitusional PARA
PEMOHON dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
a. Menurut ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, PARA PEMOHON
memiliki hak konstitusional untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
b. Menurut ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, PARA PEMOHON
memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta hak konstitusional untuk
mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum;
c. Pemohon I sebagai individu
pembayar pajak dirugikan hak konstitusionalnya terhadap ketentuan yang
diuji, yaitu: UU MD3;
d. Pemohon II, III, dan IV
adalah Badan Hukum atau organisasi masyarakat sipil yang bekerja di bidang pemajuan hukum dan hak asasi manusia,
pemenuhan hak-hak dan kesejahteraan buruh
serta pengawasan tata kelola pemerintahan
dan upaya pemberantasan korupsi yang dirugikan hak konstitusionalnya terhadap ketentuan yang
diuji yaitu: UU MD3;
e. Para pemohon
adalah
individu, Konfederasi
Serikat Pekerja, lembaga swadaya masyarakat
yang aktif dalam bidang pemajuan hukum dan hak asasi manusia, pemenuhan hak-hak
dan kesejahteraan buruh serta pengawasan tata kelola pemerintahan dan upaya pemberantasan
korupsi baik di daerah maupun secara nasional;
f. Sebagai bagian dari masyarakat yang aktif dalam bidang pemajuan hukum dan hak asasi manusia,
pemenuhan hak-hak dan kesejahteraan buruh
serta pengawasan tata kelola pemerintahan
dan upaya pemberantasan korupsi, maka keberadaan pasal yang diuji dalam UU MD3
dalam permohonan ini telah merugikan PARA PEMOHON karena menghambat berjalannya
tugas pemberantasan korupsi yang dijalankan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
disalahgunakannya kewenangan DPR dalam sistem pemerintahan presidensiil yang
efektif dan efisien dan prinsip-prinsip konstitusional yang dianut UUD 1945
yang diakibatkan oleh adanya potensi penyimpangan, korupsi dan mafia
kelembagaan akibat norma yang diuji dalam permohonan ini;
g. Dalam asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 tersebut terkandung pula asas kemanfaatan.
Sebagaimana yang dikemukakan Gustav Radbruch terhadap nilai-nilai hukum,
penegakan perlindungan dan kepastian hukum yang adil harus mempertimbangkan
asas kemanfaatan. Apabila pasal yang diuji dalam UU MD3 dalam permohonan ini
tidak memiliki makna yang sesuai dengan maksud UUD 1945 tentang kepastian hukum
yang adil tersebut, maka selain tidak menciptakan kemanfaatan bagi masyarakat
juga akan menghambat tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
berdasarkan UUD 1945;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka PARA
PEMOHON memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagai PEMOHON pengujian Pasal a quo yang menyebabkan Hak
Konstitusional Pemohon secara faktual ataupun potensial telah dirugikan.
D. Alasan-alasan Permohonan
D.1. Mahkamah Konstitusi perlu memaknai
konstitusionalitas Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bahwa kewenangan Hak Angket
DPR tidak dapat ditujukan untuk
menyelidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia;
Jika dibaca secara jernih ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 maka
terang bahwa hak angket hanya dapat dilakukan untuk menyelidiki pelaksanaan
undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah. Selengkapnya Pasal 79 ayat (3)
tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Hak
angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD [MD3], hak angket merupakan kewenangan DPR
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan
Pemerintah. Sehingga objek hak angket adalah: (i) pelaksanaan undang-undang
oleh Pemerintah; dan/atau (ii) pelaksanaan kebijakan Pemerintah. Dengan kata
lain, angket (inquiry rights)
merupakan instrumen DPR untuk menyelenggarakan fungsi investigatif yang
merupakan bagian dari fungsi pengawasan terhadap implementasi peraturan
perundang-undangan dan/atau kebijakan yang dilaksanakan Pemerintah [Sikap
Akademik Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara].
Dalam sikap akademik Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara-Hukum Administrasi Negara [APHTN-HAN] terkait polemik hak angket DPR
terhadap KPK itu dijelaskan bahwa bentuk kata “dan/atau” dalam pasal tersebut
merupakan ketentuan yang lumrah dalam bahasa perundang-undangan. Kata
“dan/atau” itu menjelaskan konsep alternatif-kumulatif terhadap dua norma atau
lebih. Maksudnya norma-norma tersebut dapat dilaksanakan tunggal atau bersamaan
sekaligus. Dalam konteks pasal tersebut di atas bentuk kata “dan/atau” mengarah
kepada tindakan subjek yang sama, yaitu pemerintah.
Jadi DPR dapat melakukan penyelidikan baik terhadap
pelaksanaan undang-undang saja yang dilakukan pemerintah atau terhadap
pelaksanaan kebijakan pemerintah saja secara terpisah. Tetapi juga dapat
dilakukan baik terhadap pelaksanaan undang-undang sekaligus terhadap kebijakan
yang dilakukan Pemerintah. Sederhananya, DPR dapat melakukan penyelidikan terhadap:
1.
pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah;
2.
pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah;
3. pelaksanaan
undang-undang dan sekaligus pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah.
Jelas dalam pasal
tersebut bahwa yang dimaksudkan diselidiki oleh DPR atau segala sesuatu yang
berkaitan dengan tindakan pemerintah sebagai lembagai eksekutif. Itu sebabnya,
proses hak angket terhadap kinerja KPK tidak beralasan karena objek hak angket
bukanlah tindakan KPK, tetapi pemerintah dalam hal ini segala hal yang
berkaitan dengan tindakan presiden dan bawahannya.
Dari argumentasi itu, maka DPR telah salah memahami konsep
kata “alternatif-kumulatif” dalam peraturan perundang-undangan atau sengaja melakukan
penyalahgunaan kewenangan hak angket itu. DPR memaknai bahwa seluruh
pelaksanaan undang-undang dapat dilakukan penyelidikan oleh DPR.
Pemahaman itu tentu janggal karena
apabila seluruh lembaga negara yang melaksanakan undang-undang dapat diselidiki
oleh DPR, maka lembaga peradilan sebagai pelaksana undang-undang juga dapat
dipanggil untuk diselidiki oleh DPR segala tindakannya dalam melaksanakan
seluruh ketentuan undang-undang. Padahal lembaga kekuasaan kehakiman adalah
lembaga yang merdeka dalam menjalankan fungsinya. Secara konstitusional, KPK
diatur sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD
1945 sebagai badan-badan lain yang
menjalankan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Sejalan dengan
itu, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK) menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah lembaga yang menjalankan tugas dan wewenangnya secara independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Lebih lanjut lagi Mahkamah Konstitusi
sebagai satu-satunya penafsir tunggal (the
sole interpreter of constitution) dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
012-016-019/PUU-IV/2006 Hal. 269 KPK
dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important) dan termasuk dalam lembaga yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal
24 ayat (3) UUD 1945.
Jika DPR memahami Pasal 24 Ayat (3)
UUD 1945, Pasal 79 ayat (3) UU MD3, dan Pasal 3 UU KPK, maka lembaga legislatif
itu tidak akan melakukan intervensi terhadap KPK melalui hak angket. Namun
politik yang kotor dapat saja mengabaikan hal tersebut demi merusak upaya
pemberantasan korupsi.
D.2. Mahkamah Konstitusi perlu untuk menafsirkan
Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bahwa kewenangan Hak Angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Republik Indonesia tidak memenuhi unsur hal penting, strategis, dan berdampak
luas pada kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Selain hak angket untuk KPK bukanlah kewenangan DPR, hak
angket terhadap KPK memiliki kelemahan substansial. Kelemahan itu berkaitan
dengan objek yang dipermasalahkan. Berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3
disebutkan bahwa objek yang dipermasalahkan untuk diselidiki oleh DPR adalah
terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang harus
memenuhi tiga kondisi, yaitu:
(i)
hal penting;
(ii)
strategis; dan
(iii)
berdampak luas pada kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan
bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pada bagian ini ketiga kondisi itu haruslah kumulatif.
Artinya, jika digunakan teori perundang-undangan, kata “dan” dalam kalimat
perundang-undang itu memperjelas bahwa kondisi yang harus dipenuhi untuk
menggulirkan hak angket adalah kondisi kumulatif. Artinya, seluruh kondisi
tersebut harus terpenuhi. Hak angket harus dijalankan terhadap pelaksanaan
undang-undang dan/atau pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Bahkan jika tiga kondisi itu penting, strategis, dan berdampak luas,
maka harus tekait dengan masyarakat, bangsa, dan negara yang bertentangan
dengan undang-undang.
Hak angket itu lebih terlihat memperjuangkan kepentingan
politik untuk intervensi proses peradilan kasus korupsi KTP-el yang sedang
berlangsung di pengadilan tindak pidana korupsi. Dengan demikian objek yang
diusung DPR untuk menyelidiki proses berperkara di KPK jauh dari yang ditentukan
undang-undang. Kepentingan penyelidikan melalui hak angket adalah kepentingan
partai politik dan anggota DPR yang terlibat perkara KTP-El.
D.3. Mahkamah Konstitusi perlu menafsirkan
Pasal 199 ayat (3) mengikat DPR untuk dilaksanakan dengan kejelasan jumlah
anggota DPR yang setuju dan tidak setuju dan ditentukan dalam secara jelas
dalam persidangan
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, proses
hak angket ditentukan Pasal 20A Ayat (2) dan Ayat (4) UUD 1945. Ketentuan lebih
lanjut diatur dalam UU MD3. Pasal 79 ayat (1) huruf b dan ayat (3) UU MD3 telah
membatasi hak angket untuk subjek dan objek tertentu. DPR tidak memedulikan
ketentuan itu dan tetap menjalankan hak angket. Namun terdapat beberapa
ketentuan yang perlu dipahami bersama terkait hak angket, yaitu:
(i)
pengajuan
usul hak angket;
(ii)
prosedur
pengesahan hak angket; dan
(iii)
pembentukan
panitia angket
Pengajuan
usul hak angket ditentukan Pasal 199 ayat (1) dan Pasal 200 ayat (1) UU MD3
yang mensyaratkan bahwa usul diajukan paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang
anggota DPR yang berasal lebih dari 1 (satu) fraksi kepada Pimpinan DPR. Usul
itu harus disertai dengan (i) materi
kebijakan dan/atau pelaksanaan undang- undang yang akan diselidiki; dan
(ii)
alasan penyelidikan. Perihal itu
telah dicukupi DPR dengan diusulkannya hak angket oleh 26 (dua puluh enam)
orang anggota dewan dengan disertai alasan pengajuan usul tersebut.
Usul
yang diajukan 26 orang tersebut dapat menjadi hak angket apabila disahkan dalam
rapat paripurna DPR. Berdasarkan Pasal 199 ayat (3) UU MD3, pengesahan hak
angket harus memenuhi kuorum kehadiran dan kuorum pengambilan keputusan. Untuk
dapat disahkannya hak angket, anggota DPR yang hadir harus minimal 1/2 (satu
per dua) dari jumlah keseluruhan anggota dewan, yaitu minimal 280 orang (dari
560 orang) anggota. Jikapun jumlah kuorum itu telah dipenuhi DPR, maka untuk
mengesahkannya maka harus diambul voting lebih dari 1/2 dari minimal 280
anggota DPR yang hadir tersebut. Jadi setidaknya harus terdapat 140 orang
anggota DPR yang menyetujui digulirkannya hak angket.
Dalam
pelaksanaannya, DPR tidak memenuhi prosedur pengesahan hak angket yang diatur
berdasarkan ketentuan Pasal 199 ayat (3) UU MD3. Akibatnya hak angket tidak sah
dengan demikian proses pembentukan panitia angket harus dianggap tidak sah.
Apalagi panitia angket harus terdiri dari seluruh unsur fraksi yang ada di DPR.
Berdasarkan Pasal 201 ayat (2) UU MD3 maka setidaknya seluruh fraksi
mengirimkan perwakilan fraksinya sebagai anggota panitia angket. Apabila tidak
terpenuhi maka tentu saja panitia angket tidak memenuhi syarat sebagaimana
ditentukan undang-undang sehingga harus dianggap tidak memenuhi kriteria.
Dalam Provisi
1). Seiring dengan terus bergulirnya angket DPR RI terhadap KPK, kerja
pemberantasan korupsi, khususnya dalam penindakan perkara korupsi akan
terganggu.
2). Implikasi dari tetap dilanjutkannya angket DPR RI terhadap KPK,
mengakibatkan ketidakpastian hukum terus terjadi, juga akan menjadi preseden
buruk bagi pelaksanaan hak angket oleh DPR. Ke depannya, DPR RI dapat
menggunakan hak angket untuk menyelidiki lembaga negara yang tidak termasuk
sebagai bagian dari eksekutif, dan bahkan mengintervensi proses hukum yang
sedang berjalan.
3). Berdasarkan Pasal 206 ayat (1) UU MD3 disebutkan bahwa, Panitia Angket
melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat parpurna DPR paling lama 60 hari
sejak dibentuknya panitia angket. Sehingga, panitia khusus angket KPK diperkirakan
akan berakhir pada 30 Agustus 2017, sejak pembentukannya pada 30 Mei 2017.
4). Di dalam Pasal 58 UU MK mengatur bahwa
Putusan Mahkamah tidak berlaku surut, maka untuk mencegah terjadinya
pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon, Pemohon memohon agar
Majelis Hakim Konstitusi menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan DPR RI untuk tidak melanjutkan proses angket terhadap KPK.
5). Walaupun UU MK tidak mengatur secara spesifik mengenai Putusan Sela, menurut Pemohon, undang-undang tidak melarang Mahkamah Konstitusi
untuk mengintrodusir mekanisme ini dalam perkara pengujian undang-undang. MK sendiri sudah beberapa
kali mengeluarkan putusan sela dalam beberapa permohonan penyelesaian sangketa
pilkada, begitu pula untuk permohonan uji materiil. Salah satunya adalah
putusan sela dalam permohonan uji materiil Nomor 133/ PUU-VII/ 2009, yang
diajukan oleh Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.
6). Permohonan provisi ini penting untuk diajukan oleh para Pemohon untuk
mendapatkan jaminan kepastian hukum atas proses angket yang sedang dijalankan
terhadap KPK. Apabila DPR RI tetap melanjutkan proses angket, maka kerja
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK -khususnya dalam hal penindakan
perkara korupsi-, akan terganggu sehingga hak konstitusional para Pemohon menjadi terlanggar secara aktual.
Dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami berpendapat bahwa
Majelis Mahkamah Konstitusi yang Terhormat berwenang untuk menjatuhkan putusan
Provisi dalam perkara a quo.
BERTENTANGAN
DENGAN PRINSIP NEGARA HUKUM, SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 1 AYAT (3) UUD 1945
1.
Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara
Indonesia adalah negara hukum”.
Penegasan ketentuan konstitusi ini bermakna, bahwa segala aspek kehidupan dalam
kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas
hukum.
2.
Konsesus
ini membentuk Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (maachtstaat).
Seluruh tindakan-tindakan aparatur negara harus berdasarkan acuan hukum dan
ketentuan perundang-undangan.
3.
Bahwa
tindakan DPR yang menggulirkan angket dengan cara menafsirkan secara sepihak
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai subyek angket (Pasal 79 Ayat (3) )
menujukkan arogansi kekuasaan yang tidak berdasarkan hukum.
4.
Bahwa
DPR tidak hanya mengabaikan ketentuan Pasal 79 Ayat 3 yang mengatur definisi
angket, akan tetapi mekanisme persetujuan penggunaan hak angket juga
bertentangan dengan ketentuan pasal 199 Ayat (3) UU MD3.
5.
Bahwa
point 3 dan 4 di atas menunjukkan tindakan DPR untuk menggulirkan angket
merupakan tindakan yang menunjukkan arogansi kelembagaan yang tidak berdasarkan
hukum, sehingga bertentangan dengan pasal 1 Ayat (3) UU 1945.
BERTENTANGAN DENGAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM, SEBAGAIMANA
DIATUR DALAM PASAL 28 D AYAT (1) UUD 1945
1.
Bahwa Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
- Bahwa kepastian hukum dan perlakuan yang sama di
muka hukum merupakan salah satu ciri pokok dari negara hukum atau the rule of law
- Bahwa asas kepastian hukum menjadi salah ciri dari negara hukum—the rule of law, yang di dalamnya
mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi. Sebagaimana
diketahui bahwa ciri-ciri negara hukum adalah, “a legal system in which rules are clear, well-understood, and
fairly enforced”;
- Bahwa kepastian hukum (certainty), salah satunya mengandung pengertian bahwa hukum
haruslah dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga
seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari
perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan
dilaksanakan.
- Bahwa menurut Gustav Radbruch, cita hukum (Idee des Rechts)—yang dilembagakan
dalam suatu bentuk negara hukum, harus memenuhi tiga prinsip umum, yaitu: purposiveness—kemanfaatan (Zweckmassigkeit), justice—keadilan (Gerechtigkeit), dan legal certainty—kepastian
hukum (Rechtssicherheit). Ketiga unsur tersebut haruslah
terdapat dalam hukum, baik undang-undang maupun putusan hakim, secara
proporsional atau berimbang, jangan sampai salah satu unsurnya tidak
terakomodasi, atau satu mendominasi yang lain;
- Bahwa menurut penjelasan Radbruch, untuk membuat
hukum yang benar-benar proporsional, sesungguhnya sangatlah sulit, karena
cita hukum yang satu dengan yang lain, pada dasarnya memiliki nilai-nilai
yang saling bertentangan—kontradiksi (antinomi), misalnya antara kepastian
dan keadilan. Oleh karenanya, hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat
hukum, haruslah perimbangan dari beragam pertentangan—antinomi, seperti
halnya formulasi antara kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
- Bahwa prinsip-prinsip pembentukan hukum yang adil
menurut Lon Fuller dalam bukunya The
Morality of Law (moralitas Hukum), diantaranya yaitu:
a)
Hukum-hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh
rakyat biasa. Fuller juga
menamakan hal ini juga sebagai hasrat untuk kejelasan;
b)
Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
c)
Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah-ubah setiap
waktu, sehingga setiap orang tidak lagi mengorientasikan kegiatannya kepadanya;
d)
Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan
dengan pelaksanaan senyatanya.
8.
Bahwa ketidakjelasan objek angket yang
diatur dalam pasal 79 ayat (3) UU MD3 pada akhirnya telah menimbulkan
ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
E. Petitum
Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas dan
bukti-bukti terlampir, maka para Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim
Konstitusi yang Terhormat pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk
memeriksa dan memutus Uji Materil
sebagai berikut:
Dalam Provisi
Menghentikan seluruh proses panitia khsus terhadap KPK
sampai ada putusan akhir Mahkamah terhadap pokok permohonan a quo.
Dalam Pokok Perkara :
1.
Menerima dan
mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan PARA
PEMOHON;
2.
Menyatakan:
a.
Pasal 79 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (3) dan
Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tidak dapat dilakukan
penyelidikan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.”
b.
Pasal 199 ayat (3) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1)
dan Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “harus terdapat
mekanisme penghitungan yang jelas terhadap anggota yang setuju dan tidak
terhadap pemberlakuan hak angket sebagai bagian dari mekanisme voting.”
c.
Pasal 201 ayat (2) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1)
UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “keberadaan semua unsur fraksi dalam panitia
angket harus dibuktikan melalui surat resmi sebagai perwakilan unsur partai.
Apabila tidak terdapat surat resmi sebagai perwakilan unsur partai, maka
panitia khusus dianggap batal demi hukum pembentukannya.”
3. Bilamana
Majelis Hakim pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan
lain, mohon putusan yang seadil-adilnya—ex
aequo et bono
Jakarta,
Juni 2017
Hormat
kami,
TIM ADVOKASI SELAMATKAN KPK DARI ANGKET DPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar