Selasa, 31 Desember 2013

Sesama Buruh Menghujat Aksi Buruh

 Dimuat di Pikiran Rakyat, Teropong, Halaman 15, Senin 11 November 2013.
Setiap tahun dalam kuartal terakhir- terutama di antara bulan Oktober hingga Desember - dunia ketenagakerjaan di Indonesia diwarnai oleh aksi kolektif buruh dalam bentuk demonstrasi dan unjuk eksistensi. Saat itu adalah dimulainya proses penghitungan kenaikan upah minimum kota/kabupaten dan provinsi. Proses ini dilakukan dalam institusi Dewan Pengupahan yang terdiri dari tiga pihak atau tripartit yakni serikat buruh/pekerja, asosiasi pengusaha dan pemerintah.
 Di dalam proses tersebut dilakukan survey terhadap barang-barang kebutuhan hidup yang menjadi dasar untuk menetapkan Kebutuhan Hidup Layak  atau KHL. KHL sendiri merupakan salah satu komponen untuk menentukan berapa besar kenaikan upah minimum untuk satu tahun ke depan.
Aksi kolektif buruh yang intensitasnya semakin tinggi ini mengundang beragam reaksi dari kelompok masyarakat lain dan publik secara luas. Secara umum sepanjang diamati dari respon yang muncul di media sosial virtual, respon publik cenderung pedas dan negatif dalam menanggapi aksi-aksi buruh. Tulisan ini hendak menjelaskan mengapa muncul respon negatif itu dari sisi pemahaman dan citra publik terhadap kaum buruh.
Berdasarkan data statistik hampir dapat dipastikan bahwa publik atau masyarakat umum yang memberikan respon negatif terhadap aksi-aksi dan tuntutan kenaikan upah burah sebenarnya adalah buruh juga. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata ‘buruh’ sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 3 menyebutkan : Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Data statistik menunjukkan 46% atau 114 juta dari jumlah penduduk Indonesia adalah penduduk yang bekerja (BPS 2013).  Dari jumlah penduduk yang bekerja, hanya 1,6% yang menjadi pengusaha.
Dengan pengertian dan data di atas mengapa publik yang pada dasarnya sesama buruh memberikan respon negatif terhadap aksi kolektif buruh? Ada persoalan semantik berbalut sejarah untuk menjelaskannya.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, kata dan kaum buruh pernah menjadi kekuatan yang amat berpengaruh melalui SOBSI – serikat buruh terbesar di Indonesia dalam rentang waktu antara kemerdekaan dan runtuhnya Orde Lama. SOBSI berafiliasi pada PKI dan karena itu keberadaannya sirna seiring dengan penumpasan PKI pada tahun 1965.
Sejak saat itu dan sepanjang Orde Baru berkuasa, kata buruh menjadi haram dan terlarang untuk digunakan karena dianggap berkaitan makna dengan komunisme. Dalam hal ini seperti yang ditulis oleh Jacques Leclerc, kata buruh mengandung makna atau orientasi ideologi komunisme.
Untuk menggantikan kata buruh maka digunakan kata karyawan atau pekerja yang dianggap sebagai kata yang lebih ‘bersih’dan netral. Itulah sebabnya setelah SOKSI atau Sentral Organisasi Karyawan Swadiri yang merupakan sayap partai Golkar,  serikat buruh tunggal yang berjaya selama Orde Baru dinamai Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.
Kata pekerja dianggap memiliki makna kesetaraan dan keharmonisan sesuai dengan konsep Hubungan Industrial Pancasila yang menjadi acuan politik perburuhan Orde Baru. Dan selama tiga decade pemerintahan Orde Baru, kata buruh menghilang digantikan oleh kata pekerja. Bersamaan dengan itu berdasarkan asal kata, kata ‘buruh’ diidentikkan dengan massa proletar sedangkan kata ‘karyawan’ diberi konotasi kooperatif dan bebas konflik (Leclerc 1978).
Jika mengikuti kategorisasi buruh dalam masyarakat Barat, maka kelas buruh dibedakan dalam 2 kategori. Kategori pertama adalah blue-collar worker atau manual worker atau buruh kerah biru untuk mereka yang bekerja mengandalkan tenaga. Kategori kedua adalah white-collar worker atau mental worker atau buruh kerah putih untuk mereka yang bekerja mengandalkan otak.
Dalam perkembangannya, mengikuti kecenderungan kita orang Indonesia yang menggemari penghalusan sebutan atau istilah, orang yang bekerja untuk orang lain dan mendapat upah diberi sebutan ‘karyawan’, ‘pekerja’, ‘staf’ atau diberi sebutan yang dianggap lebih berstatus tinggi yakni officer atau executive atau operation staff atau crew atau handler atau attendantdan seterusnya tanpa beranjak dari makna dasarnya. Dalam kenyataannya gaji yang didapat oleh seorang service crew di pertokoan atau staff/officer di hotel atau bank tidak lebih besar bahkan bisa lebih kecil dibandingkan upah yang didapat oleh buruh pabrik.
Belum lagi jika dibahas masalah status hubungan kerja yang dalam sepuluh tahun terakhir mengalami pergeseran dari status tetap menjadi kontrak atau outsourcing atau magang yang dialami oleh sebagian besar pekerja di berbagai sektor di Indonesia.
Di samping itu kemudian berkembang asosiasi bahwa kata ‘buruh’ merujuk pada buruh kasar, buruh pelabuhan, buruh pabrik, buruh perkebunan, kuli dan lain-lain yang dimasukkan dalam golongan yang inferior. Sebaliknya berbagai istilah penghalusan yang disebut di atas diasosiasikan sebagai kelompok yang melakukan pekerjaan yang lebih bergengsi dan superior. Sekali lagi tanpa beranjak dari makna dasar kata ‘buruh’.
Hal-hal inilah yang menjelaskan mengapa respon publik terhadap aksi buruh cenderung negatif karena identitas yang sama antara publik dan buruh sebagai sesama orang yang bekerja untuk dan menerima upah dari orang lain terpisah dalam kelas sosial, dianggap berbeda karena perbedaan istilah atau kata penyebut.
Sudah saatnya kita tidak silau pada istilah atau sebutan sementara pengertian dasarnya sama. Dengan penjelasan ini sebenarnya aksi buruh dapat dimaknai sebagai sebuah aksi bersama memperjuangkan perbaikan kondisi kerja bagi kelompok buruh yang lebih besar, yang tidak ikut serta dalam aksi-aksi massa.

By Indrasari Tjandraningsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar