JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Setengah juga buruh migran Indonesia atau tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita (TKI/TKW) berangkat bekerja ke luar negeri setiap tahunnya. Setengahnya berangkat ke Timur Tengah. Sebagian besar perempuan dari kota kecil atau desa dengan pengalaman kerja dan pendidikan yang minim sehingga bekerja di ranah domestik. Kira-kira satu dari tujuh buruh migran yang pulang ke Indonesia melaporkan menghadapi masalah.
Buruh migran kerap mengalami eksploitasi dan kekerasan. Sebagian kecil dari mereka yang dapat mengakses keadilan baik di negara penempatan maupun di Indonesia. Meskipun pemerintah sudah membuat mekanisme penyediaan ganti rugi bagi buruh migran. Persoalan buruh migran ini mengemuka di acara peluncuran laporan berjudul ‘Akses Keadilan Buruh Migran Indonesia di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia’ yang diselenggarakan di Paramadina Graduate School Jakarta pada hari Rabu (16/10).
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan dalam sambutannya mengatakan bahwa buruh migran rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan karena minimnya posisi tawar mereka. karena itu dibutuhkan kepedulian atas mereka.
“Saya berharap hasil penelitian ini menjadi pembuka kesadaran dan mudahan-mudahan makin banyak yang terlibat, turun tangan langsung untuk sama-sama mengusahakan agar saudara sebangsa yang bekerja di luar Indonesia memiliki perlindungan hukum dan mendapatkan keadilan. ” Katanya.
Anies Baswedan juga berharap kajian-kajian seperti ini bisa dikembangkan lebih jauh bukan saja di negara asal tenaga kerja Indonesia, tetapi juga bisa menjadi kajian di negara penempatan tenaga kerja Indonesia.
Direktur International Migration Initiative (IMI) dari Open Society Foundations (OSF) Maria Teresa Rojas juga mengatakan bahwa laporan tentang akses keadilan buruh migran ini memberikan penilaian berdasarkan bukti untuk meningkatkan akses keadilan di Indonesia. Dia berharap ini dapat mendorong negara-negara lain untuk melakukan hal yang sama.
Rekomendasi diberikan ditujukan bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan akses keadilan bagi buruh migran. Beberapa rekomendasi yang diberikan di antaranya, perlunya meningkatkan transparansi dalam seluruh proses migrasi; meningkatkan akuntabilitas sektor swasta serta mengatur perusahaan rekrutmen, calo-calo buruh migran di desa, dan jaminan asuransi agar kondisi buruh migran lebih baik; mendesentralisasi sistem asuransi dan mediasi; meningkatkan kualitas mekanisme keadilan dengan membuat standar prosedur mediasi yang adil; memperbaiki akses terhadap program asuransi; dan memperbanyak sumber daya dan pelatihan untuk kedutaan dan konsulat di luar negeri.
Laporan berjudul ‘Akses Keadilan Buruh Migran Indonesia di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia’ merupakan penelitian pertama yang memetakan dan mengevaluasi opsi ganti rugi yang tersedia bagi buruh migran di negara asalnya. Laporan ini ditulis akademisi hukum senior Bassina Farbenblum dan Eleanor Taylor-Nicholson dari Universitas New South Wales dan Sarah Paoletti dari Universitas Pennsyvlania dengan dukungan Yayasan Tifa dan Open Society Foundations (OSF) melalui International Migration Initiative (IMI).
Turut hadir di peluncuran laporan ini antara lain anggota Panitia Khusus Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia Luar Negeri (RUU PPILN) Rieke Dyah Pitaloka, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, Ketua Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Humphrey Djemat, mantan staf Kementerian Luar Negeri Makarim Wibisono, dan perwakilan buruh.
Acara ini terselenggara hasil kerjasama Yayasan Tifa, Open Society Foundations (OSF), University of New South Wales, dan Paramadina Graduate School.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Sumber: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/penelitian-buruh-migran-indonesia-sulit-mengakses-keadilan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar