Kuasa Hukum membacakan eksepsi pada sidang di PN Jakarta Pusat |
KEBERATAN
(EKSEPSI) PENASIHAT
HUKUM
Terdakwa
I sampai dengan Terdakwa XXIII
Terhadap :
Surat Dakwaan
Penuntut Umum
Nomor Reg. Perkara : PDM-30/JKT.PST/02/2016
Tanpa Tanggal Februari 2016
Dibacakan pada tanggal 11 April 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
“MENOLAK PP
PENGUPAHAN, AKTIVIS DI KRIMINALISASI”
I.
PENDAHULUAN
1.
PP Pengupahan Memiskinkan Kaum Buruh Dan Sejahterahkan
Pemodal/Pengusaha,
Hukum secara tekstual dibuat untuk menata agar masyarakat menjalankan
peran dan fungsinya untuk tercapainya ketertiban dan keselarasan (law and order). Namun secara
kontekstual hukum juga dipercaya sebagai sebuah instrument yang digunakan oleh
pihak yang berpengaruh dan mempunyai kepentingan untuk melanggengkan praktek
dominasi dan akumulasi modal. Oleh karena itu hukum melalui aturan
perundang-undangan yang dibuat menyediakan instrument bagi pasar dan para
pemburu rente untuk mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi dan pasar bebas
dengan mengurangi campur tangan Negara dalam perekonomian.
Melalui berbagai macam
bantuan, lembaga keuangan internasional memberikan asistensi dan bantuan
program dalam bentuk “Kerangka Kerja
Hukum untuk Pembangunan” (Legal Framework
for Development) dimana dalam konteks Hukum Perburuhan capaian yang
akan dilakukan adalah dengan melakukan liberalisasi semua produk hukum yang
dibuat sejak warisan Kolonial Belanda dengan memarginalkan peran dan fungsi
serikat pekerja/serikat buruh sebagai kekuatan kolektif dalam gerakan
pekerja/buruh. Tesis yang mengemuka dalam Hukum
dan Kapitalisme adalah bahwa makin
tinggi Rule of Law maka makin tinggi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Maka konsep hukum sebagai alat rekayasa pembangunan (law is a tool of social engineering) digunakan oleh Orde Baru
dalam Trilogi Pembangunan dalam bentuk Stabilitas Nasional yang dinamis,
Pertumbuhan Ekonomi Tinggi dan Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya.
Dalam agenda
neoliberalisme, hukum dibuat dan digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan
praktek penindasan atas nama Negara dan Kekuasaan dengan mengorbankan kepentingan
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Bagi neoliberalis, bukan masalah
apakah distribusi pendapatan dan kekayaan itu membuat ketimpangan yang
menimbulkan ketidakadilan dan kemiskinan secara struKtural asalkan tujuan utama
untuk distribusi asset dan kekayaan Negara tercapai. Maka tujuan hukum untuk
menciptakan ketertiban dan keadilan bagi masyarakat hanya pepesan kosong dan
utopia belaka yang tidak mungkin tercapai dalam kondisi dimana hukum menjadi
alat kekuasaan.
Persidangan sesat yang
saat ini dilaksanakan untuk memeriksa dan mengadili kawan-kawan Pejuang Buruh
menjadi jelas bahwa praktek sandiwara atas kemerosotan hukum harus dibuka dan
ditunjukan kepada publiK agar masyarakat mengetahui dan memahami bahwa hukum
harus dikembalikan kepada marwah dan semangatnya untuk menciptakan ketertiban
dan keadilan.
"Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan", sudah sejak
awal berdirinya negara ini ditetapkan sebagai hak asasi manusia warga negara
yang secara khusus telah dimuat di dalam UUD 1945 yang menjadi dasar
konstitusional negara ini. Dengan demikian pemerintah, selaku pelaksana utama
konstitusi, berkewajiban melaksanakan amanat ini dengan semaksimal mungkin
mengusahakan agar warga negara Indonesia bisa sungguh mendapatkan pemenuhan hak
asasinya ini. Amanat ini juga amat terkait dengan tujuan umum bangsa Indonesia
sebagaimana termuat di dalam Pembukaan UUD 1945 untuk "memajukan kesejahteraan umum" berdasarkan Pancasila,
untuk terciptanya "keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia".
Seperti negara-negara lain yang baru lepas dari
kolonialisme pasca-Perang Dunia II, Indonesia memilih industrialisasi dan
pembangunan ekonomi sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Amat disadari oleh para pendiri negara (founding
mothers and fathers) bahwa industrialisasi sendiri akan menghasilkan
manusia-manusia warga negara yang mencoba meraih kesejahteraannya dari situ,
yaitu mereka yang tidak punya apa-apa selain tenaganya untuk dijual guna
mendapatkan upah untuk hidup. Mereka inilah yang disebut dengan buruh/pekerja.
Negara, selaku pihak yang sejak awal memang merancang ini, mau tidak mau
harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap soal perburuhan dengan menjamin
agar mereka dapat terlindungi hak-haknya dalam bingkai konstitusi.
Inilah yang mendasari dimuatnya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
mengenai "pekerjaan" dan "penghidupan yang layak" tersebut,
yang terkait amat erat dengan Pasal 28 mengenai hak untuk berorganisasi dan
berkumpul. Keduanya termuat di dalam Bab X UUD 1945 yang bertajuk
"Warganegara dan Penduduk". Keduanya sekaligus menjadi jaminan
konstitusional bagi warga negara umumnya dan buruh khususnya, untuk mendapatkan
hak konstitusional "penghidupan yang layak" yang dapaT diperolehnya
dari "pekerjaan", dan kebebasan untuk berorganisasi guna menaikkan
posisi tawarnya.
Perjuangan kaum buruh
sejak jaman kemerdekaan tidaklah beranjak dari urusan kesejahteraan dalam menuntut
upah dan hak-hak normatiF lainnya seperti kebebasan berserikat, kerja kontrak,
outsourcing. Untuk itu strategi perjuangan yang dilakukan biasanya melakukan
lobi dan juga mengajukan konsep tandingan kepada pemerintah atas kebijakan yang
akan dikeluarkan yang dirasakan berpotensi merugikan hak-hak buruh. Lobi dan
konsep itu tentu saja dalam kerangka memberikan pendidikan politik bagi anggota
serikat pekerja/serikat buruh agar mereka memahami hak-haknya sebagai warga
Negara yang berhak untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kerangka berfikir
itulah yang saat ini dilakukan oleh hampir semua serikat pekerja/serikat buruh
dalam mengoreksi kebijakan yang salah yang dilakukan oleh pemerintah.
Demonstrasi bukanlah sebagai tujuan dari gerakan buruh namun alat untuk
memberikan pendidikan politik bagi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Oleh
karena itu tujuan demonstrasi biasanya adalah symbol-simbol Negara, dimana
pengambilan keputusan dilakukan.
Para Pejuang Buruh
yang sekarang dijadikan korban kriminalisasi adalah mereka-mereka yang berjuang
demi harkat dan martabat dirinya dan keluarganya dalam menuntut upah dan
kesejahteraan. Mereka berjuang agar ada kesejahteraan yang lebih baik dalam
hidupnya dan keluarganya sehingga dengan kesadaran sendiri datang menuju Istana
Merdeka pada tanggal 30 Oktober 2015 tanpa ada paksaan maupun intimidasi dari
pihak manapun.
Demonstrasi yang
mereka lakukan dalam wadah Gerakan Buruh Indonesia (GBI) meminta kepada
pemerintah agar mencabut Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 Tentang
Pengupahan (yang untuk selanjutnya disingkat menjadi PP 78/2015). Penolakan atas pemberlakuan PP 78/2015 tentu saja
didasarkan pada suau kondisi bahwa dasar perhitungan upah yang menjadi acuan
dalam PP 78/2105 telah mendistorsi kebutuhan riil buruh dan keluarganya lewat
rekomendasi Dewan Pengupahan yang telah melakukan survey pasar untuk menghitung
kebutuhan riil buruh dalam beberapa komponen (papan, sandang, pangan,
pendidikan, rekreasi dan tabungan).
Pengaturan tentang
pengupahan dalam PP 78/2015 telah menghilangkan mekanisme perhitungan kebutuhan
hidup layak (KHL), menghilangkan ruang musyawarah/perundingan antara
pekerja/buruh dan pengusaha serta pemerintah sebagaimana yang telah diatur
dalam instrument hukum internasional dalam hal ini Konvensi ILO No. 87 Tentang
Hak untuk Berserikat dan Berorganisasi dan Konvensi ILO No. 98 Tentang Perundingan
Kolektif. Seharusnya penghitungan upah tentu saja harus didasarkan pada fakta
kebutuhan hidup standard di suatu tempat yang terus berkembang sesuai dengan
kebutuhan hidup layak pekerja/buruh dan keluarganya. Oleh karena itu, tentu
saja ada perbedaan antara kebutuhan ekonomi pekerja/buruh di DKI Jakarta dengan
pekerja/buruh di Papua, di Batam dan juga di Kalimantan sehingga tidak mungkin
bagi pemerintah untuk mempersamakan standard pengupahannya.
Apabila komponen gaji
di Pegawai Negeri Sipil (PNS) ada item untuk tunjangan bagi PNS yang
ditempatkan didaerah terpencil, lalu mengapa pemerintah dalam PP 78/2015
menyamakan upah bagi daerah perkotaan dan daerah terpencil??? Apakah kewajiban
antara PNS dengan pekerja/buruh berbeda sehingga layak mendapatkan diskriminasi
dalam haknnya berupa pendapatan yang berbeda pula??? Lalu dimana KEADILAN di
negeri ini apabila pemerintah sediri masih bersikap diskriminasi bagi golongan
tertentu, padahal pekerja/buruhlah yang menggerakan roda pembangunan di negeri
ini melalui kontribusinya baik di sektor fomal maupun informal. Menghilangkan
peran dan kontribusi pekerja/buruh dalam roda pembangunan tentu jelas-jelas
bertentangan dengan semangat Founding Fathers yang telah membebaskan negeri ini
dari belenggu penjajajahan. Sejak jaman Kolonial Belanda, kontribusi
pekerja/buruh telah amat diakui, bahkan Semaoen sebagai Ketua VSTP (Ketua
Serikat Buruh Trem dan Kereta Api) berhak untuk duduk di Dewan Rakyat
(Volksraad) namun kemudian memberikan kursi tersebut kepada H. Agus Salim karena
menolak bekerjasama (non koperatif) dengan pemerintahan penjajah Belanda.
Presiden Soekarno sendiri menyatakan bahwa Kaum Buruh dan Kaum Proletar
merupakan soko guru revolusi yang menggerakan semangat perlawanan atas praktek
Neo Imperialisme dan Neo Kolonialisme yang dinyatakan dalam setiap
pidato-pidatonya.
Penangkapan yang
semena-mena dari aparat kepolisian yang berbaju sipil jelas-jelas telah
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam norma hukum nasional dan
internasional tentang hak asasi manusia. Karena pada saat terjadi unjuk rasa
damai yang dilakukan oleh Para Pejuang Buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh
Indonesia (GBI) “Pihak Kepolisian dengan
mengenakan kaus Turn Back Crime” menunjukkan brutalitasnya melalui tindakan
kekerasan dengan pengrusakan, pemukulan, menginjak-injak Para Pejuang Buruh dan
2 (dua) orang Pengacara Publik dari LBH Jakarta pada tanggal 30 Oktober 2015.
Anehnya, meskipun yang menjadi korban tindak pidana atas nama kekuasaan
kepolisan, Para Pejuang Buruh dan 2 (dua) orang Pengacara Publik LBH Jakarta
serta 1 (satu) orang mahasiswa justru yang diadili dengan dakwaan “melawan petugas “ atas laporan
Komisaris Besar (Pol) Hendro Pandowo selaku Kepala Kepolisian Resort Metro
Jakarta Pusat. Perlu diketahui, bahwa penyidikan terhadap perkara ini terjadi
pada saat, Inspektorat Jenderal (Pol) Tito Karnavian masih menjabat sebagai
Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, dan Komisaris Besar (Pol)
Khrisna Murti menjabat selaku Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya
yang kerapkali mempromosikan kaos
berkerah dengan tulisan Turn Back Crime (TBC),
tanpa nama dan identitas.
Patut diduga pihak
kepolisian melalui ketiganya telah menggunakan kewenangannya untuk membungkam
ikhtiar perjuangan rakyat sebagai gerakan sosial untuk memperoleh kesejahteraan
melalui pengupahan yang layak bagi kemanusiaan. Bersamaan dengan itu, patut
pula di curigai, ada kepetingan pihak lain
yang memiliki kuasa dan kekuatan besar berupaya untuk mengkriminalkan
Para Pejuang Buruh, 2 (dua) orang Pengacara Publik LBH Jakarta serta 1 (satu)
orang mahasiswa yang dianggap telah “mengusik dan menggangu rezim yang berkuasa
saat ini”.
2. Unjuk Rasa sebagai
Aspirasi Demokrasi
Salah satu dari 10 prinsip dasar demokrasi Pancasila yang
dianut Negara Indonesia adalah demokrasi yang berkedaulatan rakyat, yaitu
demokrasi di mana kepentingan rakyat harus diutamakan oleh wakil-wakil rakyat,
dimana rakyat juga untuk ikut
bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan
menyampaikan pendapat merupakan bagian dari implementasi prinsip dasar dari
demokrasi tersebut, karena dalam prinsip dasar demokrasi pancasila diantaranya:
1) Kedaulatan Rakya 2) Jaminan Hak Asasi Manusia seperti kebebasan
berpendapat dan berekspresi 3) persamaan
dihadapan hukum.
Kebebasan berpendapat dan berekpresi merupakan hak dasar dan asasi
manusia. Hal tersebut telah dinyatakan dengan tegas dalam instrument hukum
internasional dan nasional.
Instrumen
internasional yang mengatur tentang Kebebasan berpendapat dan berekspresi
diantaranya:
a) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dibuat pada tahun
1948.
Dalam Pasal 19 DUHAM
menyatakan:
Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan
keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.
Pasal 20 ayat 1 DUHAM menjelaskan:
(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat
tanpa kekerasan.
b)
Selain
diatur dalam DUHAM, juga diatur dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, dimana
Kovenan ini telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 12
tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik.
Pasal 19 ayat 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
menyatakan:
(1) Setiap orang
berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.
Pasal 21 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
menyatakan:
Hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada
pembatasan yang dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang
ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat
demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, atau
ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral umum, atau
perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Selain instrument hukum
internasional, Indonesia juga mempunyai Instrumen Hukum Nasional yang menjamin
menyampaikan pendapat di muka umum yang merupakan hak dasar dan asasi manusia,
diantaranya:
a)
UUD 1945
Pasal 28
UUD 1945 menjelaskan:
”Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Pasal 28 E Ayat 3 UUD 1945 :
”Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
b)
Kemudian dijamin dalam undang-undang UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
pendapat di Muka Umum.
Pasal 2 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan:
”Setiap
warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat
sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab demokrasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
c) Selain itu, Kemederdekaan Menyampaikan pendapat di Muka Umum merupakan
hak asasi manusia yang dijamin dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Pasal 24 ayat 1 UU Hak Asasi Manusia menyatakan:
(1)
Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk
maksud-maksud damai.
Pasal 25 ayat 2 UU Hak Asasi
Manusia menyatakan:
(2)
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk
hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Adnan Buyung Nasution, Demokrasi itu memiliki
roh atau inti yang tidak lain
adalah hak-hak dasar dan asasi manusia yang merupakan kriteria objektif dan
universal untuk menilai kemajuan peradaban suatu bangsa tidak terkecuali Indonesia[1].
Pendapat Adnan Buyung Nasution tersebut, memperkuat bahwa kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum merupakan roh atau inti dari demokrasi itu
sendiri. Karena merupakan salah satu jalur untuk menyampaikan aspirasi kepada
penguasa. Maka menyampaikan pendapat di
muka umum merupakan hak dasar dan asasi manusia, yang telah dijamin dalam
instrument internasional dan nasional.
Pemerintahan yang demokratis tidak dapat melarang rakyat untuk
melakukan aksi demonstrasi atau menyampaikan pendapat di muka umum. Pemerintah
hanya memiliki kewenangan untuk mengatur tata cara atau mekanisme dalam
melakukan aksi demonstrasi yang diatur dalam UU No.9 tahun 1998. Apabila Pemerintah
melarang aksi demonstrasi maka sama halnya dengan melakukan pengekangan terhadap
Hak Asasi Manusia sekaligus pelanggaran terhadap Konstitusi yang berlaku di
Indonesia.
Persidangan yang sedang berlangsung saat ini mengadili 23 buruh, mereka diadili karena menyampaikan
pendapat di muka umum, dan para buruh tersebut tidak pernah melakukan tindak
pidana apapun kecuali melakukan unjuk rasa damai, yang mana hal tersebut
sebagai salah satu cara rakyat untuk menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah.
Aspirasi yang disampaikan oleh para Buruh pada tanggal 30 Oktober 2015 yakni Penolakan
PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Dimana PP 78/2015 tersebut merupakan
kebijakan yang memiskinkan kaum buruh dan rakyat Indonesia karena melahirkan
politik upah murah, sehingga buruh melakukan unjuk rasa menolak pemberlakuan PP
78/2015 tersebut.
Banyak penelitian ataupun kajian bahwa sistem dan kebijakan pengupahan
yang berlaku saat ini tidak akan mampu mengangkat dan membebaskan kaum buruh
dari “kubangan” kemiskinan, apalagi ditetapkannya PP 78/2015 akan membuat kaum
buruh masuk dalam kubangan kemiskinan yang semakin dalam. Namun Pemerintah yang
berkuasa saat ini di bawah Pemerintahan Jokowi-JK tidak mendengarkan suara
rakyat, tapi lebih memikirkan nasib investor/pemodal, dibandingkan nasib jutaan
kaum buruh dan rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan.
Oleh karena itu, Aksi unjuk rasa damai yang dilakukan oleh para buruh
pada tanggal 30 Oktober 2015 sah secara konstitusional. Dalam demokrasi
konstitusional menyampaikan pendapat di muka umum sebagai salah satu cara
rakyat untuk menyuarakan aspirasinya kepada Pemerintah. Sehingga pemerintahan
demokratis tidak melarang aksi unjuk rasa damai, apalagi melakukan
kriminalisasi terhadap para rakyat atau buruh karena menyampaikan pendapat di
muka umum. Sehingga persidangan terhadap 23 buruh yang berlangsung saat ini
merupakan persidangan yang mengadili aspirasi demokrasi.
3.
Kriminalisasi sebagai Pola dan Alat Membungkam Gerakan Rakyat
Pada persidangan sebelumnya tanggal 4 april 2016, Kami Penasehat telah
menyampaikan eksepsi atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam Perkara
344/Pid/B/PN/JKT untuk sahabat kami Tigor Gemdita Hutapea, Obed Sakti Andre
Dominika dan Hasyim Ilyas Ruchiyat Noor. Dimana dalam eksepsi tersebut kami
sampaikan bahwa ketiga sahabat kami tersebut merupakan orang dikriminalisasi oleh
Penyidik Polda Metro Jaya bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum. Karena
ketiga sahabat kami tersebut tidak pernah melakukan tindak pidana apapun.
Mereka hanya menjalankan kewajibannya sebagai Advokat dan Pemberi Bantuan
Hukum, agar kaum buruh bisa sejahtera dan setidaknya setetes keadilan akan
mengalir bagi kaum buruh, sesuai tujuan kemanusiaan dan keadilan sosial dalam
Konstitusi UUD 1945.
Selain ketiga para sahabat kami, dimana 23 paduka buruh juga
dikriminalisasi Penyidik Polda Metro bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum. Sebab Ke 23 para paduka buruh tersebut
dikriminalisasi karena memperjuangkan hak asasinya dengan melakukan aksi unjuk
rasa damai pada tanggal 30 Oktober 2015. Aksi damai tersebut merupakan Hak
Asasi Manusia dan merupakan prinsip-prinsip demokrasi, serta tindakan
konstitusional.
Kami tegaskan lagi, Para Paduka buruh memperjuangkan hak-haknya dengan
cara-cara konstitusional, namun Penyidik Polda Metro Jaya melakukan
kriminalisasi terhadap 23 paduka buruh yang menjalankan hak-hak konstitusionalnya
karena memperjuangkan hak-haknya yang direbut, dan dirampas oleh Penguasa dan
Pemodal melalui PP 78/2015. Sehingga kuat dugaan ke 23 orang paduka buruh yang saat
ini telah duduk di kursi pesakitan sarat
dengan kriminalisasi.
Majelis Hakim yang Mulia, izinkan kami mengutip Puisi yang dibuat oleh
Wiji Thukul, ia seorang aktivis dan sastrawan yang dihilangkan oleh penguasa
orde baru dengan Judul; “Peringatan”
Bila rakyat berani
mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak
tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Puisi yang ditulis
Wiji Thukul tersebut masih sangat relevan pada era yang katanya sudah era
reformasi. Namun pada era reformasi ini masih memproduksi penindasan,
kemiskinan, dan Kriminalisasi. Bahkan kecenderungan saat ini, Kriminalisasi menjadi
alat penguasa dan pemodal dengan menggunakan hukum dan penegak hukum untuk
membungkam gerakan rakyat yang menginginkan perubahan sosial.
Sehingga tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa Kriminalisasi sebagai alat membungkam gerakan
rakyat. Mengacu pada data yang dimiliki oleh Tim Advokasi Anti Kriminalisasi
(Taktis), pada tahun 2015 tak kurang 49
orang dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri karena pandangannya berseberangan dengan
kelompok Polri dalam penanganan perkara dugaan korupsi[2]. Ke 49 orang tersebut,
sebagian adalah pimpinan KPK, penyidik KPK, aktivis anti korupsi, hakim
dan mantan hakim yang menyuarakan pandangan
secara umum
Diperkuat lagi dengan
data yang dimiliki oleh LBH Jakarta dalam lima tahun terakhir ada 21 kasus, dimana polisi menjadi alat penguasa
dan pemodal untuk membungkam dan melakukan serangan balik terhadap buruh dan masyarakat yang kritis
yang memperjuangkan hak haknya. Tentu Data tersebut belum termasuk data
masyarakat sipil lainnya yang kemungkinan jumlahnya jauh lebih besar
Mengacu kepada data
kriminalisasi di atas, mengungkapkan bahwa penegakan hukum yang dilakukan
Kepolisian dalam kasus kriminalisasi
bukanlah untuk tujuan keadilan tapi untuk kepentingan kelompok tertentu serta mungkin untuk melindungi
kasus korupsi yang besar. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka keniscayaan
ekonomi Indonesia akan terpuruk dan
berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di berbagai sektor
industri dan menurunnya daya beli masyarakat umum akan terjadi.
Kriminalisasi yang
dialami oleh 23 paduka buruh, berawal dari penolakan PP Pengupahan, karena pada
saat pembentukan PP 78/2015 tersebut sangat minim partisipasi, tertutup dan
mendelegitimasi peran dan fungsi serikat pekerja/buruh, patut diduga lahirnya
kebijakan PP Pengupahan tersebut karena intervensi para pemodal, seperti halnya
dalam Kasus Reklamasi Teluk Jakarta.
Dimana menurut Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo, dalam
kasus ini Reklamasi Teluk Jakarta terlihat bagaimana pengusaha mempengaruhi
pembuat Undang-undang tanpa menghiraukan kepentingan rakyat yang lebih besar
terutama yang berkaitan dengan lingkungan[3].
Dari apa yang
diuraikan di atas semakin jelas bahwa kriminalisasi menjadi pola dan alat bagi pemodal dan
penguasa untuk membungkam gerakan rakyat. Dengan demikian kriminalisasi akan menjadi
ancaman bagi demokrasi karena telah menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi itu
sendiri diantaranya: 1) Kedaulatan Rakyat 2) Jaminan Hak Asasi Manusia seperti
kebebasan berpendapat dan berekspresi 3) persamaan dihadapan hukum. Maka kriminalisasi
akan menimpa siapa saja termasuk yang mulia majelis hakim, lembaga penegak
hukum, buruh, tani dan masyarakat sipil lainnya karena mengkritisi penguasa dan
pemodal.
Sehingga menjadi
kewajiban kita bersama untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan yang dirampas
sewenang-wenang dan dimonopoli oleh penguasa dan pemodal. Maka Kebenaran dan
Keadilan tersebut harus kita rebut dari
gengaman para penguasa dan pemodal (bring
back justice).
II.
ALASAN KEBERATAN
Majelis Hakim Yang Mulia,
Saudara Penuntut Umum Yang Kami Hormati,
Aparat Kepolisian yang hadir dalam persidangan,
Paduka Buruh dan Pengunjung Sidang, yang kami Kasihi.
Eksepsi
ini kami beri Judul; “Menolak PP Pengupahan, Aktivis di Kriminalisasi” Judul tersebut ingin memperlihatkan ada rekayasa yang dibuat sedemikan
sistematis yang diduga keras dilakukan oleh oknum Penyidik Kepolisian yang memperalat
Penuntut Umum ( hal ini dibuktikan dari keterangan Jaksa
Penuntut Umum saat sidang 11 April 2016
yang lalu, yang menyatakan “bahwa kami, penuntut umum, hanya menerima berkas
seperti ini dari kepolisian” )
sehingga perkara ini
tidak layak dibawa ke pengadilan, dan dipaksakan untuk disidangkan. Kami sungguh sangat
menguatirkan, persidangan yang terhormat ini “dijebak” untuk menyidangkan dan
memutus perkara yang tidak jelas kasusnya. Di sisi lainnya, kami mengharapkan
dan mendoakan, semoga Majelis Hakim kelak akan menjadi faktor penting untuk
memeriksa perkara secara obyektif untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya.
Bahwa kami Penasihat
Hukum Terdakwa I sampai dengan XXIII, menilai keseluruhan skenario dalam
penanganan perkara ini merupakan pemidanaan yang dipaksakan. Karena keseluruhan
rangkaian proses pemidanaan ini memenuhi unsur-unsur ; 1) Kriminalisasi
terhadap kebebasan berpendapat 2) kejanggalan dalam penerapan KUHAP , 3) serangan terhadap orang yang sudah
ditarget atau orang tertentu, 4) Motif dibalik pemidanaan yang dipaksakan.
Bahwa kami Penasihat
hukum para terdakwa menyampaikan keberatan (eksepsi) terhadap surat dakwaan JPU.
Adapun alasan-alasan keberatan kami, bahwa perkara ini merupakan pemidanaan
yang dipaksakan, dengan uraian sebagai berikut:
1. Kriminalisasi
terhadap kebebasan berpendapat
a) Pengadilan
Tidak Berwenang Mengadili Perkara ini.
Bahwa pada Hari Senin 11 April 2016 Jaksa Penuntut Umum telah
membacakan surat dakwaannya tanpa tanggal, dan telah kita dengar bersama bahwa
Jaksa Penuntut Umum tidak mampu menjelaskan surat dakwaan kepada para terdakwa
I sampai dengan XXIII. Hal ini semakin menunjukkan bahwa perkara ini,
sebenarnya bukan merupakan tindak pidana sebagaimana Dalam Dakwaan Primair nya
Pasal 216 ayat 1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dan Dakwaan Subsidairnya
Pasal 218 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dengan uraian singkat dakwaannya sebagai berikut:
“ bahwa Penyidik Polda Metro Jaya dan Jaksa
Penuntut Umum mengkriminalisasi terdakwa I sampai dengan terdakwa XXIII berawal
dari adanya Surat Pemberitahuan aksi damai yang dikirim oleh Konfederasi
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Aneka Sektor
Indonesia (FSPASI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang
ditujukan kepada Kapolda Metro Jaya….. , sesuai Pasal 7 ayat 1 Perkap No. 7
tahun 2012 tentang tata cara penyelenggaraan pengamanan dan penanganan perkara
penyampai pendapat di muka umum dijelaskan bahwa penyampaian pendapat dimuka
umum dilaksanakan pada tempat dan waktu setempat antara Pukul 06.00Wib s/d
Pukul 18.00 Wib, atas dasar tersebut Kapolres Metro Jakarta Pusat, menghimbau
sebanyak 3 kali , namun himbauan tersebut tidak hiraukan oleh massa buruh kemudian Kepolisian
menyemprotkan air ke massa dari mobil watercanon namun masih belum cukup
efektif untuk membubarkan kerumunan massa, kemudian kepolisian menembakkan gas
air mata terdakwa I sampai dengan XXIII, lalu bubar kemudian, lalu pihak keamanan
melakukan penangkapan terhadap para terdakwa I sampai dengan terdakwa XXIII.
Dari uraian dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut, sangat jelas bahwa
unjuk rasa damai yang dilakukan oleh massa buruh pada tanggal 30 Oktober 2015
berlangsung secara aman, tertib dan damai serta menyampaikan pendapat di muka
umum bukanlah tindak pidana, tetapi merupakan hak asasi manusia, dan pembatasan terhadap itu ditetapkan dengan Undang-Undang bukan
dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 7 tahun 2012, lagi pula Perkap No. 7
tahun 2012 bukan peraturan pelaksana yang dimandatkan oleh UU No. 9 tahun 1998.
Dengan demikian, Perkap No. 7 tahun 2012 tidak bisa dijadikan sebagai dasar
untuk memidanakan para massa buruh yang menyampaikan pendapat di muka umum pada
tanggal 30 Oktober 2015.
Semua bentuk kegiatan menyampaikan pendapat dimuka umum harus mengacu
kepada UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum, bukan kepada Perkap No. 7 tahun 2012. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2
ayat 2 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang menyatakan:
“(2) Penyampaian pendapat di muka umum
dilaksanakan sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang ini”.
Kemudian dinyatakan lagi dalam Bab IV Bentuk-Bentuk dan Tata Cara
Penyampaian Pendapat di Muka Umum Pasal 13 UU No. 9 tahun 1998 menyatakan:
Ayat 1: Setelah
menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Polri wajib:
a.
segera
memberikan surat tanda terima pemberitahuan;
b.
berkoordinasi
dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum;
c.
berkoordinasi
dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat;
d.
mempersiapkan
pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
Ayat 2;
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum. Polri bertanggungjawab memberikan
perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka
umum.
Ayat3 :
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab
menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai
dengan prosedur yang berlaku.
Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) Huruf b UU
No. 9 tahun 1998 menyatakan:
Koordinasi antara Polri dengan penanggungjawab dimaksudkan untuk
mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengganggu terlaksananya penyampaian
pendapat di muka umum secara aman tertib, dan damai, terutama penyelenggaraan
pada malam hari.
Dari uraian Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 13 UU No. 9 tahun 1998 telah
tegas mengatur; 1) “Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan sesuai
dengan UU No. 9 tahun 1998 bukan kepada Perkap No. 7 tahun 2012. 2) Bahwa Penjelasan
13 ayat 1 huruf b UU No. 9 tahun 1998 telah tegas mengatur bahwa penyampaian
pendapat di muka umum secara aman, tertib dan damai dalam bentuk unjuk rasa
atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan atau mimbar bebas tidak dilarang pada
malam hari[4] . Maka unjuk rasa atau demonstrasi
yang dilakukan pada malam hari bukan merupakan tindak pidana dan tidak bisa
dipidana dengan alasan telah melewati Pukul 18.00 Wib
Kami lampirkan gambar dan video dalam eksepsi ini terkait penyampaian
pendapat di muka umum dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi atau mimbar
bebas yang dilakukan pada malam hari. Berikut video aksi damai yang dilakukan
pada malam hari: 1) Video aksi Mahasiswa dari BEM Seluruh Indonesia (SI) pada tanggal
28 Oktober 2015 di Istana Negara
hingga jam 10 malam https://www.youtube.com/watch?v=mkg9MiHPaHs&feature=youtu.be
2) Aksi 1000 lilin Relawan Jokowi-JK di Bunderan HI jelang pelantikan sebagai
Presiden dan Wakil Presiden RI pada tanggal 19 Oktober 2014 yang dilakukan pada
malam hari lihat; https://www.youtube.com/watch?v=8Wi3eMVz6J4&feature=youtu.be
3) Aksi 1000 lilin untuk angeline yang
diikuti oleh Polisi dan masyarakat sipil yang dilakukan pada malam hari tanggal
11 Juni 2015 lihat; https://www.youtube.com/watch?v=468NbLtALLk&feature=youtu.be
.
Izinkan kami Majelis Hakim untuk memutar video tersebut, semata-mata
kami lakukan demi tegaknya kebenaran dan keadilan, sehingga yang Mulia Majelis
Hakim akan semakin mengerti dan memahami bahwa perkara ini sepatutnya tidak
bisa diadili atau mengadili suatu perbuatan yang tidak ada perbuatan melawan
hukumnya dalam.
Selain video, kami
juga lampirkan photo-photo terkait aksi yang dilakukan pada malam hari sesuai
dengan bunyi Penjelasan Pasal 13 Ayat (1) Huruf b UU No. 9 tahun 1998
menyatakan:
Koordinasi antara Polri dengan penanggungjawab dimaksudkan untuk
mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mengganggu terlaksananya penyampaian
pendapat di muka umum secara aman tertib, dan damai, terutama penyelenggaraan
pada malam hari.
Gambar
1[5];
Gambar
2[6]
Gambar 3[7]
Oleh karenanya Perkap No. 7 tahun 2012 bukan menjadi landasan hukum
yang sah untuk memidanakan para terdakwa I sampai dengan XXIII dengan Pasal 216
KUHP ayat 1 dan Pasal 218 KUHP kecuali para terdakwa melakukan perbuatan
melawan hukum lainnya.
Ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU No. 9 tahun 1998 yang telah kami jelaskan
di atas sejalan dengan asas hukum “lex specialis derogat legi generalis”
bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Dimana KUHP merupakan Undang-Undang yang
bersifat umum (lex generalis),
sedangkan UU No. 9 tahun 1998 merupakan Undang-Undang yang bersifat Khusus (lex specialis) yang mengatur
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta mempunyai kedudukan yang
sederajat antara UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dengan KUHP.
Maka ketentuan yang khusus adalah UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum yang menyampingkan ketentuan Undang-Undang yang umum dalam hal ini KUHP.
Bila ketentuan Pasal 2, Pasal 13 UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Asas lex specialis derogat legi
generalis dikaitkan dengan uraian kejadian dalam surat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum, bahwa jelas perkara ini tidak bisa diadili dalam persidangan
ini, dan tidak bisa dituntut dengan tindak pidana Pasal 216 ayat 1 KUHP dan
Pasal 218 KUHP, karena didasarkan kepada;
1) Undang-Undang yang khusus menyampingkan Undang-Undang yang umum. 2)
Bahwa perkara ini bukan tindak pidana sesuai dengan Penjelasan 13 ayat 1 huruf
b UU No. 9 tahun 1998, bahwa unjuk rasa damai dapat dilakukan pada malam hari
diperkuat dengan photo dan video yang terlampir dalam eksepsi ini 3) Dalam
perkara aquo, kepolisian telah melakukan penghukuman terhadap massa buruh
berupa pembubaran aksi damai pada tanggal 30 Oktober 2015 di depan istana
Negara Jakarta sesuai dengan ketentuan Pasal 15 UU No. 9 tahun 1998, menyatakan:
“Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum
dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 10, dan Pasal 11.,
Bila dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 16 UU No. 9 tahun 1998 bahwa
Pembubaran yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap Buruh dan para terdakwa pada
tanggal 30 Oktober 2015 merupakan penjatuhan sanksi administrasi. Bila mengutip
pendapat Jan Remmelink, bahwa penjatuhan sanksi hukum administrasi tidak perlu
melalui persetujuan majelis hakim, karena sanksi administrasi tersebut
merupakan hubungan pemerintah dengan warga, tanpa perantaraan seorang hakim.
Dalam penjatuhan sanksi administrasi instansi penuntut umum pun tidak
dilibatkan. Sehingga sanksi administrasi serupa dengan hukum pidana yang juga
memiliki tujuan punitif[8].
Oleh karena itu demi hukum
perkara ini telah selesai (no case), dan
tidak dapat dituntut dengan tindak pidana Pasal 216 ayat 1 KUHP dan Pasal 218
KUHP karena para buruh tidak pernah melakukan perbuatan melawan hukum lainnya. Maka perkara ini sesuai dengan Pasal 2,
Penjelasan Pasal 13 ayat 1 huruf b UU
No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan
asas hukum “lex specialis derogat legi generalis” maka secara Kompetensi Absolut, Majelis Hakim
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara aquo tidak berwenang
untuk mengadili perkara ini. Sehingga demi hukum, sepatutnya Majelis Hakim
menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima.
2.
Kejanggalan dalam penerapan KUHAP
a) Berawal dari
Tindakan Represif Aparat Penegak Hukum
Aksi unjuk rasa damai
yang dilakukan oleh Para Terdakwa bersama para pejuang buruh lainnya bertujuan
untuk mendesak Pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan yang dapat merugikan kaum buruh dan mengakibatkan
permasalahan sruktural yang akan dialami oleh buruh di seluruh wilayah
Indonesia. Adapun alasan Para Terdakwa
melakukan aksi tersebut karena PP 78/2015 tentang Pengupahan mengabaikan komponen hidup layak
sebagai prioritas pertama dan utama dalam menentukan upah minimum. Justru
penentuan upah minimum ditentukan melalui formula perhitungan upah sebagaimana tertuang pada pasal 44 ayat (2) PP 78/2015 yaitu UMn =
UMt + {UMt x (Inflasi + % PDBt, dan
dilihat dari formula tersebut tidak terlihat secara jelas letak
komponen hidup layak dijadikan prioritas perhitungan.
Apabila
PP tentang Pengupahan tersebut diberlakukan maka akan menimbulkan ketidakadilan sosial di seluruh
penjuru wilayah Indonesia. Aksi unjuk rasa damai yang dilakukan oleh Para
Terdakwa sebagai bentuk perjuangan untuk menolak segala bentuk ketidakadilan
sosial dan upaya menegakkan amanat konstitusi untuk mencapai penghidupan yang
layak sekaligus mewakili suara aspirasi seluruh masyarakat di seluruh penjuru
negeri.
Upaya
penyampaian aspirasi yang dilakukan secara damai oleh Para Terdakwa justru direspon oleh tindakan
brutalitas, penganiayaan, pemukulan, pengeroyokan, bahkan penangkapan secara
sewenang-wenang oleh segerombolan orang yang mengenakan kaos berkerah
bertuliskan Turn Back Crime yang hanya bertuliskan “
POLISI” pada bagian belakang tanpa
nama dan identitas sebagaimana lazimnya. Melihat tindakan brutalitas tersebut tentu sangat
mempengaruhi proses penanganan perkara yang telah berjalan yang menimbulkan
banyak kejanggalan-kejanggalan.
Kejanggalan-kejanggalan
tersebut
terlihat secara jelas dan terang ketika Jaksa Penuntut Umum tidak mencantumkan
fakta mengenai tindakan brutalitas yang dialami oleh Para Terdakwa yang
dilakukan oleh segerombolan
orang yang mengenakan kaos berkerah bertuliskan Turn Back Crime. Padahal fakta-fakta
tersebut telah terurai di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diterima Jaksa Penuntut Umum.
Tidak
dicantumkannya fakta terkait tindakan brutalitas tersebut menunjukkan bahwa
Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan proses penelitian terhadap berkas perkara.
Dengan begitu telah secara jelas pihak Jaksa Penuntut Umum tidak melaksanakan
tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya sebagai pengendali perkara (dominus litis).
Bahwa ketika Jaksa
Penuntut Umum tidak mencantumkan tindakan brutalitas yang dilakukan oleh
segerombolan orang yang memakai kaos berwarna biru bertuliskan Turn Back Crime, sebagaimana yang
terurai dalam BAP Terdakwa I s/d XXIII disinyalir ada konspirasi antara Jaksa
Penuntut Umum dengan segerombolan orang yang melakukan kejahatan penganiayaan,
pengrusakan, pengeroyokan, bahkan
penangkapan secara sewenang-wenang untuk melindungi
pelaku kejahatan yang sebenarnya.
Gambar 1[9]:
Gambar 2[10] Photo Terdakwa XI Pujo
Dewo Ruwet Pambudi
Padahal kalau pihak Jaksa Penuntut Umum konsisten ingin menguraikan peristiwa pidana sesuai dengan berkas
perkara dari Penyidik Polda Metro Jaya, maka tindakan brutalitas yang dilakukan oleh gerombolan orang yang mengenakan kaos berkerah
bertuliskan Turn Back Crime kepada
Para Terdakwa harus dicantumkan dalam
surat dakwaan karena hal tersebut tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) para terdakwa yang diterima oleh JPU, tapi kenyataannya Jaksa Penuntut Umum “membonsai” fakta, tidak mencantumkannya dalam surat dakwaan sehingga secara otomatis merugikan posisi Para
Terdakwa, sekaligus menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut Umum
tidak konsisten dalam menyusun dan mengurai surat dakwaan, maka majelis hakim sepatutnya menyatakan surat
dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima.
b. Terkait
Formil Surat Dakwaan
Bahwa
kedudukan Surat Dakwaan dalam proses pemeriksaan lanjutan suatu perkara (nasporing)
sangat penting sebagai dasar pemeriksaan persidangan, dasar tuntutan pidana,
dasar pembelaan, dan putusan pengadilan, maka Surat Dakwaan harus dibuat sesuai
dengan isi Berkas Perkara hasil penyidikan serta memenuhi semua persyaratan
yang telah ditentukan baik formil maupun materiil.
Bahwa jika
merujuk pada ketentuan Pasal 139 KUHAP, disebutkan bahwa : "Setelah penuntut umum menerima atau menerima
kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah
berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak
dilimpahkan ke pengadilan". Artinya bahwa satu-satunya bahan yang
dimiliki Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan adalah berkas
perkara.
Dalam surat
dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum terdapat cacat formil sebagai
berikut:
1.
Ketidaksesuaian
identitas nama Terdakwa dalam Surat Dakwaan dengan Identitas Terdakwa dalam
Kartu Tanda Penduduk ( KTP )
Bahwa pada
hingga pembacaan Surat Dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam sidang tanggal 11
April 2016, Jaksa Penuntut Umum sama sekali tidak menyatakan ralat terhadap
Surat Dakwaan yang disampaikannya. Artinya, apa yang tertulis dalam teks Surat
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum sudah benar.
Bahwa
dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan pada sidang tanggal 11
April 2016, terdapat ketidaksesuaian (inconsistensi) pada Identitas Nama
Terdakwa dalam Surat Dakwaan dengan Identitas Nama Terdakwa dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP).
v Surat Dakwaan
Dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum,
pada Bagian A. Identitas Terdakwa, tertulis nama “I. Ahmad Azmir Sahara Bin Suwaryono; VI. Dian Septi Trisnanati” serta XVI Sutar, Tempat tinggal; Kp. Momonot
Rt 001/012 Kel. Tanjung Priok Kec. Gunung Putri Kabupaten Bogor Jawa
Barat.
v Kartu Tanda Penduduk ( KTP)
Dalam
Kartu Tanda Penduduk bernomor 3304101205850007 tertulis nama “ Akhmad Azmir Sahara Bin Suwaryono” dan
Dalam Kartu Tanda Penduduk bernomor 3172036009830011 tertulis nama “ Dian Septi Trisnanti “ serta Dalam
Kartu Tanda Penduduk bernomor 3201021201820012 tertulis nama Sutar, Alamat; Kp.
Momonot RT/RW; 001/002 Kel/Desa; Tlajung Udik Kecamatan
Gunung Putri Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.
Permasalahan
ketidaksesuaian (inconsistensi) antara Identitas Nama Terdakwa dalam
Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan Identitas Nama Terdakwa dalam Berkas
Perkara hasil penyidikan adalah apakah ketidaksesuaian tersebut menyangkut
persyaratan yuridis yang harus dipenuhi dalam penyusunan surat dakwaan atau
tidak ?. Sepanjang perbedaan itu tidak menyangkut hal-hal yang prinsip, tidak
akan dipermasalahkan. Tetapi, apabila ketidaksesuaian tersebut menyangkut hal
yang prinsip yuridis dalam penyusunan Surat Dakwaan maka tentu saja akan
membawa konsekwensi yuridis.
Menurut
pendapat M. Yahya Harahap dalam "Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP", jilid I, 1993 : 420, mengatakan : ".... kekurangan dan
kesalahan mengenai isi syarat formil surat dakwaan yang diakibatkan
kekurangsempurnaan syarat formil, dapat dibatalkan. Jadi tidak batal demi
hukum, melainkan dapat dibatalkan (Vernietigbaar), karena sifat
kekurangsempurnaan pencantuman syarat formil dianggap sebagai yang
bernilai" "imperfect" (kurang sempurna).
2.
Surat
Dakwaan Tidak Diberi Tanggal
Bahwa
Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Dakwaannya pada persidangan tanggal 11
April 2016. Dimana surat dakwaan tersebut ditandatangani oleh Penuntut Umum
Sugih Carvallo, S.H., M.H Jaksa Madya/NIP: 19660312 199103 1 001 tanpa tanggal
Februari 2016.
Dalam Pasal
143 ayat 2 KUHAP menyatakan Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi
tanggal dan ditandatangani…..Maka surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut
Umum tidak memenuhi persyaratan formil.
Dari uraian
diatas, telah nyata Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini telah
mengandung cacat yuridis karena tidak memenuhi persyaratan formil sebagaimana
disyaratkan dalam ketentuan Pasal 143 Ayat (2) huruf a KUHAP atau bernilai imperfect (kurang
sempurna), sehingga dakwaan menjadi tidak jelas kepada siapa dakwaan tersebut
ditujukan, oleh karena itu mohon kepada Majelis Hakim yang Mulia agar Surat
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara ; PDM-30/JKT.PST/02/2016 , yang TIDAK DIBERI TANGGAL, dan Ketidaksesuaian
identitas nama Terdakwa dalam Surat Dakwaan dengan Identitas Terdakwa dalam
Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam perkara ini, sepatutnya surat dakwaan dinyatakan BATAL atau DIBATALKAN
(VERNIETIGBAAR).
c. Terkait
Materiil Surat Dakwaan
Bahwa
sebenarnya dengan adanya ketidaksesuaian (inconsistensi) Identitas Nama
Terdakwa saja, telah cukup untuk mengatakan bahwa syarat formal tidak
terpenuhi dalam pembuatan Surat Dakwaan Perkara ini, sehingga dakwaan menjadi
tidak jelas kepada siapa dakwaan tersebut ditujukan (Error In Persona).
Akibatnya surat dakwaan dinyatakan batal atau dibatalkan sebagaimana dimaksud
dalam uraian di atas. Namun demikian, dalam Eksepsi ini kami Penasehat Hukum
Terdakwa I sampai dengan Terdakwa XXIII merasa sangat perlu untuk mengajukan
eksepsi pula terhadap persyaratan materiil Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
yaitu mengenai kejelasan, kecermatan dan kelengkapan yuridis dalam Surat
Dakwaan sebagaimana diharuskan dalam KetentuanPasal 143 Ayat (2) huruf b KUHAP
yang konsekuensinya diatur dalam Pasal 143 Ayat (3) KUHAP.
1. Dakwaan
kabur (obscuur libel) Karena Tidak Memenuhi Syarat Materiil
Bahwa
terkait materi/substansi surat dakwaan harus memuat uraian dakwaan secara
cermat, jelas, dan lengkap. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 143 ayat
(2) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
menyebutkan Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
itu dilakukan.
Ketentuan
mengenai uraian tindak pidana yang harus dicantumkan didalam surat dakwaan
lebih lanjut diatur juga di Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :
SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan. Dalam Surat Edaran Jaksa
Agung tersebut, surat dakwaan harus mencantumkan uraian tindak pidana yang
didakwakan yang disusun secara cermat, jelas, dan lengkap, sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana.
Berdasarkan
Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993
tersebut, secara materiil suatu surat dakwaan dipandang telah memenuhi syarat
apabila surat dakwaan tersebut telah memberi gambaran secara bulat dan utuh
tentang:
1)
Tindak
Pidana yang dilakukan;
2)
Siapa yang
melakukan Tindak Pidana tersebut;
3)
Dimana
Tindak Pidana dilakukan;
4)
Bilamana/kapan
Tindak Pidana dilakukan;
5)
Bagaimana
Tindak Pidana tersebut dilakukan;
6)
Akibat apa
yang ditimbulkan Tindak Pidana tersebut (delik materill);
7)
Apakah yang
mendorong terdakwa melakukan Tindak Pidana tersebut (delik-delik tertentu);
8)
Ketentuan-ketentuan
Pidana yang diterapkan;
Bilamana
materi/substansi surat dakwaan disusun dengan ketidak cermatan, ketidakjelasan,
dan ketidaklengkapan maka berakibat dakwaan batal demi hukum sebagaimana ditegaskan
pada Pasal 143 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
Sebelum
dijelaskan lebih lanjut letak dari ketidakcermatan, ketidakjelasan, dan
ketidaklengkapan uraian dakwaan, perlu terlebih dahulu disebutkan bahwa materi/substansi
surat dakwaan, Para Terdakwa didakwa dengan Pasal 216 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
(primair) dan Pasal 218 ayat (1) KUHP juncto
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (subsidair). Adapun bunyi dari masing-masing Pasal
tersebut adalah :
Pasal 216 ayat (1) KUHP
menyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti
perintah atau permintaan yang dilakukan menurut peraturan perundang-undangan
oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu atau oleh pejabat berdasarkan
tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak
pidana, demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi
atau menggagalkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang pegawai
negeri itu, dalam menjalankan sesuatu undang-undang, dihukum penjara
selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda setinggi-tingginya Rp. 600.”
Pasal 218 ayat (1) KUHP
menyatakan :
“Barang siapa pada waktu orang berkerumun dengan
sengaja tidak pergi dengan segera sesudah diperintahkan tiga kali oleh atau
atas nama kekuasaan yang berhak, dihukum karena turut campur berkelompok,
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.600.”
Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP
menyatakan :
“Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: (1) orang yang
melakukan dan menyuruhlakukan atau turut melakukan perbuatan itu.”
Sebagaimana
Pasal yang telah disebutkan diatas sebagai dasar dalam mendakwa Para Terdakwa, perlu juga disampaikan yang
dimaksud surat dakwaan harus disusun secara cermat, jelas, dan lengkap karena
sangat mempengaruhi bagaimana Jaksa Penuntut Umum menerapkan Pasal-Pasal diatas
sebagaimana yang telah dituduhkan kepada Para Terdakwa.
Uraian secara cermat berarti menuntut ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam
mempersiapkan Surat Dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa. Dengan
menempatkan kata “cermat” paling depan dari rumusan Pasal 143 ayat (2) huruf b
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembuat undang-undang
menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan selalu
bersikap korektif dan teliti.
Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas
dalam surat dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah memahami apa yang
didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaan dengan
sebaik-baiknya. Uraian secara lengkap, berarti surat dakwaan itu memuat semua
unsur (elemen) Tindak Pidana yang didakwakan, unsur-unsur tersebut harus
terlukis didalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam surat dakwaan.
Mengenai materi/substansi surat dakwaan terkait ketidakcermatan, ketidakjelasan, ketidaklengkapan dalam
menyusun dan membuat surat dakwaan tersebut sebagai berikut:
1.
Dakwaan
tidak cermat
Jaksa
Penuntut Umum dalam surat dakwaan nya yang telah dibacakan pada persidangan
tanggak 11 April 2016 menyebutkan “ … menangkap
para terdakwa pada 30 Oktober 2015. Fakta sebenarnya, Muhamad Rusdi
(terdakwa XXIII) tidak ditangkap pada tanggal 30 Oktober 2015 dan juga tidak
pernah ditangkap, tetapi Penyidik Polda Metro Jaya memanggil Terdakwa XXIII
melalui surat panggilan tanggal 23 November 2015 untuk di BAP pada tanggal 27
November 2015 dan 1 Desember 2015 (terlampir),”. Oleh karena itu, jelaslah hal
ini merupakan bentuk ketidakcermatan penuntut umum dengan tidak menjalankan
perannya sebagai pengendali perkara sehingga membuat dakwaan tidak cermat
mengakibatkan dakwaan batal demi hukum.
2.
Dakwaan
Tidak Jelas
Merujuk pada
penjelasan butir 1 diatas, terlihat ketidakkonsistenan Jaksa Penuntut Umum
dalam menggunakan dasar hukum dalam kaitannya dengan fakta-fakta untuk mendakwa
Para Terdakwa. Salah satu Pasal yang digunakan untuk mendakwa Para Terdakwa
yakni Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang memiliki muatan dapat dipidananya
seseorang jika dalam rangkaian peristiwa pidana orang tersebut yang melakukan,
menyuruh lakukan, atau turut melakukan perbuatan pidana. Artinya di dalam surat
dakwaan perlu ada uraian mengenai peran masing-masing dari Terdakwa dalam
rangkaian peristiwa pidana sebagaimana dimaksud oleh Jaksa.
Namun dalam
surat dakwaan tidak menguraikan secara jelas peran dari masing-masing Terdakwa
dalam rangkaian peristiwa pidana sebagaimana disusun oleh Jaksa. Sehingga ketidakjelasan
terlihat pada apakah Para Terdakwa memiliki peran sebagai seseorang yang
melakukan (Pleger), yang menyuruh
lakukan (Doen Pleger), atau turut
serta melakukan perbuatan. Hal tersebut
menimbulkan ketidak jelasan mengenai penerapan Pasal 55 ayat (1) KUHP sehingga
mengakibatkan kebingungan dan merugikan Para Terdakwa.
3.
Dakwaan
Tidak Lengkap
Sebagaimana
diatur pada Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :
SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan telah dijelaskan bahwa
uraian secara lengkap yang berarti surat dakwaan itu memuat semua unsur
(elemen) Tindak Pidana yang didakwakan. Unsur-Unsur tersebut harus terlukis
didalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam surat dakwaan.
Di dalam
surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum telah gagal menguraikan fakta mana yang
termasuk dalam unsur tindak pidana
(element of crime) yang didakwakan kepada Para Terdakwa. Selain itu Jaksa
Penuntut Umum juga tidak mengkaitkan secara lengkap fakta-fakta mana saja yang
masuk kategori Pasal 216 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dalam
primair) dan Pasal 218 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dalam
subsidair) seperti yang tertuang dalam surat dakwaan.
Berdasarkan penjelasan diatas menunjukkan surat dakwaan yang telah disusun oleh Jaksa Penuntut Umum
dilakukan dengan ketidakcermatan, ketidakjelasan, dan ketidaklengkapan. Hal
tersebut menunjukkan ketidakmampuan Jaksa Penuntut Umum untuk mengkonstruksikan unsur-unsur tindak pidana
(element of crime), yang sekaligus tidak
melaksanakan amanat sebagaimana Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yang menyebutkan uraian dalam surat dakwaan harus disusun secara cermat,
jelas, dan lengkap. Selain itu, penyusunan surat dakwaan juga mengabaikan
ketentuan dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat
Dakwaan.
Kegagalan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun dan menguraikan surat dakwaan
secara cermat, jelas, dan lengkap mengakibatkan Para Terdakwa kebingungan
terhadap materi/substansi dakwaan, sehingga Para Terdakwa
kesulitan menyusun pembelaan. Padahal sebagaimana yang tertera pada Surat
Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan fungsi surat dakwaan bagi
Para Terdakwa/Penasehat Hukum sebagai dasar untuk mempersiapkan pembelaan.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana pihak Para Terdakwa atau Penasehat
Hukum dapat menyusun pembelaan jika surat dakwaan telah disusun dengan
ketidakcermatan, ketidakjelasan, dan ketidaklengkapan. Tentu hal tersebut
sangat merugikan posisi Para Terdakwa sebagai pihak yang tertuduh oleh Jaksa
Penuntut Umum.
Aksi unjuk
rasa damai yang dilakukan oleh Para Terdakwa bersama para pejuang buruh lainnya
bertujuan untuk mendesak Pemerintah untuk mencabut PP 78 tahun 2015 yang merugikan
kaum buruh dan akibatnya permasalahan sruktural akan dialami oleh buruh di
seluruh wilayah Indonesia. Adapun alasan Para Terdakwa melakukan aksi tersebut karena PP 78 tahun 2015 mengabaikan komponen hidup layak sebagai
prioritas pertama dan utama dalam menentukan upah minimum. Justru penentuan
upah minimum ditentukan melalui formula perhitungan upah sebagaimana tertuang pada pasal 44 ayat (2) PP
78/2015 yaitu UMn = UMt + {UMt x (Inflasi + % PDBt, dan dilihat dari formula tersebut tidak
terlihat secara jelas letak komponen hidup layak dijadikan prioritas perhitungan.
Upaya penyampaian aspirasi yang dilakukan secara damai
oleh Para Terdakwa justru direspon oleh tindakan brutalitas, penganiayaan,
pemukulan, pengeroyokan, bahkan penangkapan secara sewenang-wenang oleh
gerombolan orang yang mengenakan kaos berkerah bertuliskan Turn Back Crime, dan
pada bagian belakang bertuliskan “ POLISI” tanpa nama dan identitas.
Melihat tindakan brutalitas tersebut tentu sangat mempengaruhi proses
penanganan perkara yang telah berjalan yang menimbulkan banyak
kejanggalan-kejanggalan.
Kejanggalan-kejanggalan tersebut terlihat secara jelas
dan terang ketika Jaksa Penuntut Umum tidak mencantumkan fakta mengenai
tindakan brutalitas yang ditujukan ke Para Terdakwa yang dilakukan oleh segerombolan orang yang mengenakan kaos berkerah bertuliskan Turn Back Crime.
Padahal fakta-fakta tersebut telah terurai
dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para terdakwa pada saat proses pemeriksaan di Polda Metro Jaya.
Tidak dicantumkannya fakta terkait tindakan brutalitas tersebut menunjukkan
bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan proses penelitian terhadap berkas
perkara atau JPU melakukan
“pembonsaian” fakta.
Dengan begitu telah secara jelas pihak Jaksa Penuntut Umum tidak melaksanakan
tugas dan fungsinya sebagai pengendali perkara (dominus litis).
Bahwa ketika
Jaksa Penuntut Umum tidak mencantumkan tindakan brutalitas yang dilakukan oleh
segerombolan orang yang memakai kaos berwarna biru bertuliskan Turn Back Crime sebagaimana yang telah disebutkan dalam BAP para
Terdakwa, disinyalir ada konspirasi
antara Jaksa Penuntut Umum dengan segerombolan orang yang memakai kaos berwarna
biru bertuliskan Turn
Back Crime berupaya melindungi para pelaku
kejahatan yang sebenarnya.
Padahal kalau pihak Jaksa Penuntut Umum konsisten ingin menguraikan peristiwa pidana di dalam surat dakwaan maka tentu perlu juga dicantumkan
tindakan brutalitas yang dialami oleh para
terdakwa yang pelaku kejahatannya dilakukan oleh segerombolan orang yang
mengenakan kaos berkerah bertuliskan Turn
Back Crime. Namun kenyataannya fakta tersebut tidak dicantumkan dalam surat
dakwaan sehingga secara otomatis merugikan posisi Para
Terdakwa yang sudah menyampaikan fakta tersebut di dalam
BAP. Sekaligus ini menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak
konsisten dalam menyusun dan mengurai surat dakwaan maka mengakibatkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum.
4. Salah
Menerapkan Hukum
Bahwa dalam
materi/substansi dakwaan (lembar ke-5 bagian primair, paragraf ke-3) telah
diuraikan kalau aksi unjuk rasa damai yang dilakukan para Terdakwa bersama
massa aksi lainnya merupakan bagian dari aksi penyampaian pendapat dimuka umum
yang dilakukan di depan Istana Negara. Apabila aksi unjuk rasa damai yang
dilakukan oleh para Terdakwa merupakan bagian dari aksi penyampaian pendapat
dimuka umum, maka dasar hukum yang tepat terkait tindakan para Terdakwa yakni
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Namun dalam surat dakwaan JPU upaya
pembubaran yang dilakukan oleh saksi Drs. Hendro Pandowo M.Si mengacu pada
Pasal 7 ayat (1) huruf a Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian
Pendapat dimuka Umum.
Bahwa Jaksa
Penuntut Umum setelah menguraikan uraian peristiwa yang melanggar Pasal 7 ayat
(1) huruf a Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 sebagaimana diuraikan
diatas, tiba-tiba secara langsung
menggunakan Pasal 216 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dalam
primair) dan Pasal 218 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dalam subsidair)
sebagai dasar mendakwa Para Terdakwa tanpa menguraikan uraian peristiwa yang
dilanggar oleh para terdakwa berdasarkan pasal dakwaan aquo .
Lebih
fatalnya lagi, penggunaan Pasal 218 KUHP oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan
pilihan yang terkesan dipaksakan, karena pasal 218 KUHP menurut R.Soesilo lebih
mengatur orang-orang yang berkerumun, sementara Jaksa Penuntut Umum menyebut
para Terdakwa sebagai “massa aksi” dalam dakwaannya. Kalaupun pasal aquo bisa
diterapkan, maka hanya kepada “penonton” unjuk rasa, bukan massa aksi sendiri.
Ditambah lagi pasal 218 KUHP hanya bisa diterapkan untuk orang-orang yang
mengacau (volksoploop), bukan untuk massa aksi seperti
dalam dakwaan jaksa tidak dinyatakan para terdakwa sebagai pengacau.
Melihat
penjelasan diatas, Jaksa Penuntut Umum keliru dalam menerapkan Pasal yang
ditujukan untuk mendakwa para Terdakwa. Kekeliruan Jaksa tersebut menimbulkan
ketidakcermatan dalam penyusunan dakwaan. Dengan begitu dasar hukum serta
kaitannya dengan fakta-fakta dalam surat dakwaan pun menjadi tidak konsisten
mengakibatkan dakwaan batal demi hukum.
Dari Uraian di atas telah jelas, bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum merupakan Dakwaan yang kabur (obscuur
libel) yang tidak memenuhi syarat materiil, dimana dakwaan tersebut tidak
cermat, jelas dan lengkap membuat perkara ini dapat
dikualifikasi sebagai “no case”.
Maka yang mulia Majelis
Hakim sepatutnya menyatakan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum merupakan dakwaan
yang tidak cermat, jelas dan lengkap maka menurut Pasal 143 ayat 3 KUHAP surat
dakwaan batal demi hukum.
3. Serangan dan
Penangkapan terhadap Orang yang sudah Ditarget Atau Orang Tertentu
Seluruh paduka buruh yang saat ini dipaksa untuk menjadi terdakwa
adalah orang-orang yang sudah ditarget. Dimana Pada saat aksi damai tanggal 30
Oktober 2015 dihadiri puluhan ribu massa
buruh dalam wadah Gerakan Buruh Indonesia (GBI), namun yang ditangkap dan
dijadikan sebagai terdakwa sebanyak 26 orang, yang terdiri dari 23 buruh yang
diadili saat ini, dan 2 Pengacara dari LBH Jakarta serta 1 Mahasiswa dalam
berkas terpisah.
Ke 23 paduka buruh
yang ditarget untuk diterdakwakan adalah pengurus serikat/pekerja buruh. Ada
pula pola yang sama dimana sebagian besar ditangkap ketika berada diatas atau
didekat mobil komando yang mana mobil komando adalah sarana penting untuk
memberikan arahan-arahan kepada peserta aksi. Sangat masuk akal bila kita
mempunyai keyakinan bahwa penangkapan dan menjadikan mereka sebagai terdakwa
adalah karena jabatan dan fungsinya pada serikat pekerja/serikat buruh, yang
tujuannya untuk melumpuhkan aktivitas serikat pekerja baik pada aksi damai
tanggal 30 Oktober 2015 maupun aktivitas serikat pekerja/serikat buruh pada
masa depan.
Gambar 1[11]. Photo Terdakwa I
Sesungguhnya para terdakwa menjalankan tugasnya
dalam jabatan struktural dan fungsional
dalam Serikat Pekerja/Serikat Buruh
dilindungi oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, sehingga bila ada yang menghalanginya adalah bertentangan dengan UU No.
21 tahun 2000.
Pasal 27 UU No. 21 Tahun 2000 menyatakan:
Serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah
mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban :
a.
melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan
memperjuangkan kepentingannya;
b.
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;
c.
mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai
dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Di bawah ini profile masing-masing terdakwa yang
diterdakwakan Karena Sudah ditarget
NAMA
|
SP/SB
|
JABATAN SP/SB
|
KETERANGAN
|
1. Akhmad Azmir Sahara Bin
Suwaryono
|
Federasi Perjuangan Buruh
Indonesia (FPBI) - KPBI
|
Staff Departemen Pengembangan
Organisasi FPBI
|
Saat ditangkap berada di
mobil komando.
|
2. Achmad Novel
|
Federasi Serikat Pekerja
Metal Indonesia (FSPMI) – KSPI
|
Peran saat aksi, sebagai
Koordinator buruh FSPMI di kawasan EJIB Cikarang.
|
Saat aksi, memberikan
pengumuman dari mobil komando agar aksi damai berjalan sesuai dengan UU No. 9
tahun 1998.
|
3. Suparno Prapto Sudarmo Nono
|
Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI) - KSPSI
|
Panglima Koordinator Cabang
Brigade KSPSI
|
Saat ditangkap berada di
mobil komando.
|
4. Hadi Kuswanto bin Suriman
|
Serikat Pekerja Nasional
(SPN) - KSPI
|
Ketua SPN PT. Metropoly Jaya
Nusa
|
Saat aksi melakukan orasi
dari mobil komando
|
5. Wildan Hafid Prastadi
|
Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI) - KSPSI
|
· Wakil Sekretaris 3 SPSI PT.
Sumi Rubber Indonesia.
· Satuan Koordinasi Brigade
KSPSI Cab. Karawang.
|
Saat ditangkap berada di
mobil komando.
|
6. Dian Septi Trisnanti
|
Federasi Buruh Lintas Pabrik
(FBLP) – KPBI
|
Sekretaris Jenderal FBLP
|
Saat ditangkap berada di mobil
komando.
|
7. Agus Sulistyo
|
Federasi Serikat Pekerja
Metal Indonesia (FSPMI) – KSPI
|
Wakil Ketua I Bidang Pendidikan Organisasi FSPMI PT. Toyoplas
Manufacturing Indonesia
|
Saat ditangkap berada
disebelah mobil komando
|
8. Riki Fauzi Bin Alm Yusuf
|
Federasi Serikat Pekerja
Metal Indonesia (FSPMI) – KSPI
|
Anggota Garda Metal FSPMI Bekasi
|
Saat ditangkap berada di
mobil komando.
|
9. Wahyuni binti Supardi
|
Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI) - KSPSI
|
Brigade KSPSI
|
Saat ditangkap berada di
belakang mobi komando
|
10. Yana Nuryana Bin Aim Parundi
|
Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI) - KSPSI
|
Brigade KSPSI
|
Saat ditangkap berada di
mobil komando.
|
11. Pujo Dewo Ruwet Pambudi
|
Federasi Serikat Pekerja
Metal Indonesia (FSPMI) – KSPI
|
Staff Administrasi dan Garda Metal FSPMI Bekasi
|
Saat ditangkap berada didalam
mobil komando.
|
12. Nimpuno Als Ketu Bin Boimin
|
Federasi Serikat Pekerja
Metal Indonesia (FSPMI) – KSPI
|
Ketua Serikat Pekerja PT. Walsim Indonesia Fspmi Bekasi
|
Saat ditangkap berada di
mobil komando.
|
13. Presly Manullang
|
Federasi Buruh Transportasi
Pelabuhan Indonesia (FBTPI) - KPBI
|
Sekretaris Jenderal FBTPI
|
Saat ditangkap berada di
mobil komando.
|
14. Sari Triana Binti Sainudin
|
Federasi Buruh Transportasi
Pelabuhan Indonesia (FBTPI) - KPBI
|
Anggota
|
Saat ditangkap berada di
mobil komando.
|
15. Mingpon Sehat Adha
|
Federasi Buruh Transportasi
Pelabuhan Indonesia (FBTPI) - KPBI
|
Anggota
|
Sebelum ditangkap disuruh
masuk ke mobil komando oleh Polisi
|
16. Sutar
|
Federasi Buruh Transportasi
Pelabuhan Indonesia (FBTPI) – KPBI
|
Anggota
|
Saat ditangkap sedang menutup
sound system di mobil komando dari semprotan air Water Canon
|
17. Jarot Supratman bin Suparto
|
Federasi Serikat Pekerja
Metal Indonesia (FSPMI) – KSPI
|
Anggota Garda Metal FSPMI Bekasi
|
Saat ditangkap berada di
belakang mobil komando.
|
18. Wandi Irawan
|
Federasi Buruh Transportasi
Pelabuhan Indonesia (FBTPI) - KPBI
|
Pengemudi Mobil Komando
|
Saat ditangkap berada di
mobil komando.
|
19. Lasmin
|
Federasi Serikat Pekerja
Metal Indonesia (FSPMI) – KSPI
|
Anggota Garda Metal FSPMI Bekasi
|
Berada didalam mobil komando.
|
20. Tofik Aminudin
|
Serikat Buruh Merdeka (SBM) -
KPBI
|
Pengurus Pusat SBM
|
Saat ditangkap berada di
depan mobil komando.
|
21. Gallyta Nur
|
Federasi Buruh Transportasi
Pelabuhan Indonesia (FBTPI) - KPBI
|
Departemen Managerial FBTPI
|
Saat ditangkap berada di
samping supir mobil komando.
|
22. Wiwit Setiawan
|
Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI) - KSPSI
|
Anggota
|
Berada didekat mobil komando.
|
23. Muhamad Rusdi
|
Konfederasi Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (KSPI)
|
Sekretaris Jenderal KSPI
|
Tidak ditangkap, tapi
dipanggil sebagai tersangka pada tanggal 27 November 2015.
|
Dalam hukum
pidana dikenal adanya Asas Legalitas dan Asas tiada pidana tanpa kesalahan.
Prof.
Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
asas
Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, asas ini dipahami bahwa kesalahan menjadi salah
satu unsur pertanggungjawaban pidana dari suatu subjek hukum pidana, artinya
seseorang yang diakui sebagai subjek hukum harus mempunyai kesalahan untuk
dapat dipidana, karena kesalahan menjadi dasar pertanggungjawaban
Perkara
ke 23 paduka buruh diterdakwakan karena mereka merupakan orang-orang yang sudah
ditarget sangatlah bertentangan dengan kedua asas diatas. Dimana Perbuatan ke-23 paduka buruh karena melakukan
aksi damai melewati batas waktu Pukul 18.00 Wib pada tanggal 30 Oktober 2015
diperbolehkan dan bukan tindak pidana yang dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 13
ayat 1 huruf b UU No. 9 tahun 1998, namun ke 23 paduka buruh dengan
dikriminalisasi dengan Pasal 216 ayat 1 dan Pasal 218 KUHP.
Bahwa
jelas dalam UU No. 9 tahun 1998 aksi damai dapat diselenggarakan pada malam
hari, pembatasan waktu sampai Pukul 18.00 Wib hanya di Perkap No. 7 tahun 2012
bukan diatur dalam UU No. 9 tahun 1998, senyatanya perkara ini tidak layak
untuk disidangkan dan bertentangan dengan asas legalitas dan asas tiada pidana
tanpa kesalahan. Selain itu, ke-23 buruh tersebut tidak pernah melakukan
kesalahan/tindak pidana atau perbuatan melawan hukum lainnya sehingga ke-23
paduka buruh yang diterdakwakan tidak dapat dipidana dengan Pasal 216 ayat 1 jo
Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 218 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Oleh
karena perkara ini berdasarkan orang yang telah ditargetkan dan ke-23 terdakwa
tidak pernah melakukan perbuatan melawan hukum, maka perkara ini merupakan
pemidanaan yang dipaksakan karena bertentangan dengan asas legalitas dan asas
tiada pidana tanpa kesalahan maka sudah selayaknya Majelis Hakim yang Mulia, dengan
jeli untuk memeriksa dan memutus perkara ini dengan menyatakan surat
dakwan batal Demi Hukum atau
setidak-tidaknya tidak dapat diterima.
4.
Motif Pemidanaan yang Dipaksakan
Bahwa nampak jelas dari uraian dalil-dalil Para Terdakwa dalam eksepsi
ini, dakwaan Penuntut Umum mengindikasikan suatu bagian dari proses pemidanaan
yang dipaksakan. Selain bukan merupakan tindak pidana, dan terdapat berbagai
kejanggalan selama proses hukum, seluruh proses pemidanaan dan dakwaan Penuntut
umum patut diduga mengandung motif lain selain penegakan hukum;
Bahwa Pemerintahan presiden Jokowi pada Oktober 2015 lalu telah
mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid IV yang salah satunya fokus pada
penerapan upah minimum. Implementasi dari kebijakan ekonomi ini, Pemerintah
menyusun sebuah Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan yang mengatur formula
kenaikan upah tahunan berdasarkan pada upah tahun berjalan, tingkat inflasi,
dan pertumbuhan ekonomi. Dengan formula tersebut, pemerintah bermaksud untuk di
satu sisi memberikan kepastian kepada pelaku usaha dalam merencanakan pembiayaan
anggaran usahanya, dan di sisi lain agar tidak mendorong demonstrasi buruh yang
menuntut kenaikan upah setiap tahunnya;
Bahwa para Terdakwa dan seluruh anggota yang tergabung dalam serikat
buruhnya menilai kebijakan ekonomi jilid IV tersebut hanya akan menguntungkan
pengusaha dan akan semakin memiskinkan para buruh. Bagi para Terdakwa dan
serikat buruhnya, pemberlakuan formula pengupahan sesuai dengan PP No. 78 tahun
2015 akan membuat buruh tidak lagi terlibat dalam pembahasan kenaikan upah,
yang selama ini menjadi mekanisme penting dalam memperjuangkan kesejahteraan
buruh;
Bahwa atas pertimbangan tersebut, Para Terdakwa bersama buruh lainnya
yang tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI) Menyelenggarakan aksi unjuk
rasa untuk menolak pemberlakukan PP 78 tahun 2015.
Bahwa tampak jelas dari seluruh proses represif aparat penegak hukum
pada hari dilakukannya unjuk rasa, menunjukan adanya sikap untuk mengamankan
kebijakan ekonomi jilid IV yang diterapkan pemerintahan Presiden Jokowi.
Seperti telah kami dalilkan sebelumnya, jika mengacu kepada Undang-undang
Menyatakan Pendapat di Muka Umum, maka tindakan represif aparat penegak hukum
maksimal sebatas pembubaran aksi unjuk rasa. Namun faktanya, aparat penegak
hukum yang berada di bawah struktur pemerintahan Presiden Jokowi, belum
menganggap cukup tindakan pembubaran tersebut, dan bermaksud untuk tetap
mengkriminalkan Para Terdakwa, semata-mata agar mencipatakan efek takut (chilling effect) kepada anggota serikat
buruh yang lainnya. Efek takut sengaja diciptakan supaya para Terdakwa dan
buruh-buruh lainnya tidak lagi melakukan unjuk rasa untuk memperjuangkan
penolakan kebijakan ekonomi terkait pengupahan atau yang lainnya;
Bahwa jika demikian halnya, maka indikasi adanya motif lain selain
dari maksud murni penegakan hukum. Motif
tersebut tidak lain adalah untuk mengamankan kebijakan ekonomi jilid IV
pemerintahan Jokowi dengan modus kriminalisasi, agar menimbulkan efek takut
bagi buruh yang ingin memperjuangkan hak-haknya melalui menyatakan pendapat
untuk menolak kebijakan yang begitu merugikan dan memiskinkan para Terdakwa dan
buruh pada umumnya;
Bahwa kami berkeyakinan, Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat dapat
secara jeli menyadari motif ini, dan membuat pertimbangan serta putusan yang
adil untuk mengantisipasi agar agenda pemidanaan yang dipaksakan ini tidak
terus berlanjut;
III.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas, maka kami mempunyai kesimpulan sebagai berikut;
1. Bahwa ke-23 Paduka buruh diterdakwakan atau dikriminalisasi karena
menolak PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
2. Bahwa ke-23 Paduka Buruh diterdakwakan atau dikriminalisasi karena
diduga institusi kepolisian menggunakan
kewenangannya untuk membungkam ikhtiar perjuangan rakyat sebagai gerakan sosial
untuk memperoleh kesejahteraan melalui pengupahan yang layak bagi kemanusiaan.
Selain itu pula, patut diduga ada kepetingan pihak lain yang memiliki kuasa dan kekuatan besar
berupaya untuk mengkriminalkan Para Pejuang Buruh, 2 (dua) orang Pengacara
Publik LBH Jakarta serta 1 (satu) orang mahasiswa karena telah “mengusik
dan menggangu rezim yang berkuasa saat ini”.
3. Bahwa unjuk rasa damai yang dilakukan oleh para buruh dalam wadah
Gerakan Buruh Indonesia (GBI) pada tanggal 30 Oktober 2015 bukan tindakan
kejahatan/kriminal tapi merupakan aspirasi demokrasi. Sehingga persidangan yang
berlangsung saat ini merupakan persidangan yang mengadili aspirasi demokrasi.
4. Bahwa patut diduga ke-23 paduka buruh yang diterdakwakan saat ini
merupakan bentuk kriminalisasi. Dimana ada kecenderungan bahwa kriminalisasi
menjadi pola dan alat bagi para pemodal
dan penguasa untuk membungkam gerakan rakyat. Sehingga kriminalisasi menjadi
ancaman bagi demokrasi karena menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi itu
sendiri.
5. Bahwa Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang
untuk mengadili perkara aquo karena;
a. Menyampaikan pendapat di muka umum bukanlah tindak pidana, tetapi
merupakan hak asasi manusia, dan pembatasan terhadap itu
ditetapkan dengan undang-undang, bukan dengan Peraturan Kapolri No. 7
tahun 2012 yang jauh di bawah undang-undang serta Perkap No. 7 tahun 2012 tidak
pernah dimandatkan oleh UU No. 9 tahun 1998.
b. Bahwa aksi damai yang dilakukan
oleh buruh pada tanggal 30 Oktober 2015 dengan alasan telah melewati Pukul
18.00 Wib tidak dapat dipidana, karena dijamin dalam Pasal 13 UU No. 9 tahun
1998. Dalam Penjelasan Pasal 13 UU No. 9 tahun 1998 telah mengatur dengan tegas
bahwa penyampaian pendapat di muka umum secara aman, tertib dan damai dalam
bentuk unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan atau mimbar bebas
dapat diselenggarakan pada malam hari seperti yang telah dilakukan oleh 1) Relawan
Jokowi-JK dimana mereka melakukan Aksi 1000 lilin di Bunderan HI pada malam
hari jelang pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI tanggal 19 Oktober 2014, 2) Aksi 1000 lilin
untuk angeline yang diikuti oleh Polisi
dan masyarakat sipil yang dilakukan pada malam hari tanggal 11 Juni 2015 3)
aksi Mahasiswa dari BEM Seluruh Indonesia (SI)
pada tanggal 28 Oktober 2015 di
Istana Negara hingga jam 10 malam.
c. Bahwa penyampaian pendapat di muka umum, dilaksanakan sesuai dengan UU
No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
sebagaimana diatur dalam Ketentuan
Pasal 2 UU No. 9 tahun 1998 tersebut. Hal tersebut sejalan dengan asas hukum “lex specialis
derogat legi generalis” bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan
aturan hukum yang umum. Dimana KUHP merupakan
undang-undang yang bersifat umum (lex
generalis), sedangkan UU No. 9 tahun 1998 merupakan Undang-Undang yang bersifat
Khusus (lex specialis) yang mengatur
terkait Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta kedudukan KUHP
dan UU No. 9 tahun 1998 sederajat. maka ketentuan yang khusus adalah UU No. 9 tahun 1998, yang
menyampingkan KUHP yang bersifat umum.
d. Bahwa perkara aquo telah
dilakukan penegakan hukum dan pemberian sanksi hukum yang sesuai dengan Pasal
15 UU No. 9 tahun 1998 UU berupa pembubaran, maka demi hukum perkara ini telah
selesai dan tidak dapat dituntut dengan tindak pidana Pasal 216 KUHP ayat 1
KUHP dan Pasal 218 KUHP, karena ke-23 terdakwa tidak pernah melakukan perbuatan
melawan hukum lainnya.
e. Dengan demikian telah jelas,
bahwa perkara ini sesuai dengan Pasal 2, Pasal 13 dan Penjelasan Pasal 13 ayat
1 huruf b UU No. 9 tahun 1998 dan asas
hukum “lex specialis derogat legi generalis” maka secara Kompetensi Absolut, Majelis Hakim
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara aquo tidak
berwenang untuk mengadili perkara ini, maka demi hukum, sepatutnya Majelis
Hakim menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima.
6. Adanya Kejanggalan dalam penerapan KUHAP diantaranya:
a) Jaksa Penuntut Umum tidak memasukkan fakta-fakta secara utuh atau
dengan kata lain Jaksa Penuntut Umum telah “membonsai” fakta-fakta, dimana fakta-fakta
yang dimasukkan dalam surat dakwaan sesuai dengan selera dan kepentingan dari
Penyidik Polda Metro Jaya dan berupaya melindungi segerombolan orang yang
memakai baju kaos turn back crime yang melakukan kejahatan pengrusakan,
pengeroyokan dan pemukulan terhadap para terdakwa , sehingga patut diduga Jaksa
Penuntut Umum ada konspirasi dengan segerombolan orang yang diduga pelaku
penjahat sebenarnya yang melakukan kejahatan penganiayaan, pengrusakan, dan pengeroyokan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak konsisten
dalam menyusun dan mengurai surat dakwaan,
maka majelis hakim sepatutnya menyatakan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum
tidak dapat diterima
b) Surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum cacat formil yakni
- Ketidaksesuaian identitas nama Terdakwa dalam Surat Dakwaan dengan
Identitas Terdakwa dalam Kartu Tanda
Penduduk ( KTP).
Ketidaksesuaian tersebut
yakni A. Identitas Terdakwa, tertulis
nama “I. Ahmad Azmir Sahara Bin
Suwaryono; VI. Dian Septi Trisnanati”
serta XVI Sutar, tempat tinggal; Kp. Momonot Rt 001/012 Kel. Tanjung Priok Kec.
Gunung Putri Kabupaten Bogor Jawa Barat.
Dalam Kartu Tanda Penduduk (
KTP) para terdakwa tercantum Kartu Tanda
Penduduk bernomor 3304101205850007 tertulis nama “ Akhmad Azmir Sahara Bin Suwaryono” dan Dalam Kartu Tanda Penduduk
bernomor 3172036009830011 tertulis nama “ Dian
Septi Trisnanti “ serta Dalam Kartu Tanda Penduduk bernomor
3201021201820012 tertulis nama Sutar, Alamat; Kp. Momonot RT/RW; 001/002 Kel/Desa;
Tlajung Udik Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor Provinsi Jawa
Barat.
-
Surat Dakwaan Tidak Diberi
Tanggal.
Surat dakwaan yang dibuat
oleh Jaksa Penuntut Umum dan dibacakan pada tanggal 11 April 2016 yang
ditandatangani oleh Penuntut Umum Sugih Carvallo, S.H., M.H Jaksa Madya/NIP:
19660312 199103 1 001 tanpa tanggal Februari 2016. Dalam Pasal 143 ayat 2 KUHAP
menyatakan Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani…..Maka surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum tidak
memenuhi persyaratan formil.
Dengan demikian Surat Dakwaan
yang dibuat cacat formil maka sepatutnya surat dakwaan dinyatakan batal atau
dibatalkan.
c) Surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum tidak memenuhi syarat
materiil, diantaranya:
-
Dakwaan Kabur (obscuur libel) karena tidak memenuhi
syarat materiil.
Ø Surat dakwaan tidak cermat.
Karena Jaksa Penuntut Umum
menyatakan dalam surat dakwaan bahwa ke-23 terdakwa ditangkap pada tanggal 30
oktober 2015, tapi Terdakwa XXIII Muhamad Rusdi tidak pernah ditangkap, tapi
dilakukan pemanggilan melalui surat panggilan tanggal 23 November 2015 untuk di
BAP pada tanggal 27 November 2015 dan 1 Desember 2015, maka dakwaan tidak
cermat harus dinyatakan batal demi hukum.
Ø Surat dakwaan tidak jelas.
Karena tidak menguraikan
peran dari masing-masing terdakwa dalam rangkain peristiwa pidana, Para Terdakwa memiliki peran sebagai seseorang yang
melakukan (Pleger), yang menyuruh
lakukan (Doen Pleger), atau turut
serta melakukan perbuatan. Hal tersebut menimbulkan
ketidak jelasan mengenai penerapan Pasal 55 ayat (1) KUHP mengakibatkan
kebingungan dan merugikan Para Terdakwa.
Ø Dakwaan tidak lengkap.
Jaksa
Penuntut Umum tidak mencantumkan fakta mengenai tindakan brutalitas yang
ditujukan kepada Para
Terdakwa yang dilakukan oleh segerombolan orang yang mengenakan kaos berkerah
bertuliskan Turn Back Crime aquo. Padahal fakta-fakta tersebut telah terurai dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para terdakwa pada saat proses pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Sekaligus ini menunjukkan bahwa Jaksa
Penuntut Umum tidak konsisten dalam menyusun dan mengurai surat dakwaan maka mengakibatkan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum.
Ø Salah Menerapkan Hukum
Para Terdakwa merupakan
bagian dari aksi penyampaian pendapat dimuka umum, maka dasar hukum yang tepat terkait
tindakan Para Terdakwa yakni Pasal 15 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Namun dalam surat dakwaan tersebut upaya
pembubaran yang dilakukan oleh saksi Drs. Hendro Pandowo M.Si didasarkan pada
Pasal 7 ayat (1) huruf a Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian
Pendapat dimuka Umum. Lebih fatalnya lagi, Penuntut Umum menggunakan Pasal 218
KUHP sehingga terkesan dipaksakan, karena pasal 218 KUHP menurut R.Soesilo
lebih mengatur orang-orang yang berkerumun, sementara Jaksa Penuntut Umum
menyebut para terdakwa sebagai “massa aksi” dalam dakwaannya. Kalaupun pasal
aquo bisa diterapkan, maka hanya kepada “penonton” unjuk rasa, bukan massa aksi
sendiri. Ditambah lagi pasal 218 KUHP hanya bisa diterapkan untuk orang-orang
yang mengacau (volksoploop), bukan untuk massa aksi seperti
dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dinyatakan para terdakwa sebagai
pengacau. Jaksa Penuntut Umum keliru dalam menerapkan Pasal yang ditujukan
untuk mendakwa Para Terdakwa. Kekeliruan Jaksa tersebut menimbulkan
ketidakcermatan dalam penyusunan dakwaan. Dengan begitu dasar hukum serta
kaitannya dengan fakta-fakta dalam surat dakwaan pun menjadi tidak konsisten
mengakibatkan dakwaan batal demi hukum.
d) Bahwa ke-23 Paduka Buruh yang diterdakwakan merupakan korban kejahatan
dan sudah ditarget sejak awal oleh segerombolan orang yang memakai kaos biru
berkerah bertuliskan Turn Back Crime.
Ke-23 Paduka Buruh dikriminalisasi dengan alasan melakukan aksi damai
melewati waktu Pukul 18.00 Wib, padahal berdasarkan penjelasan Pasal 13 UU No.
9 tahun 1998 bahwa aksi damai diperbolehkan diselenggarakan pada malam hari. Maka perbuatan ke-23 paduka buruh bukan tindak pidana sehingga ini merupakan
kriminalisasi dengan menargetkan dan menangkap orang-orang tertentu tujuannya
untuk melumpuhkan aksi damai yang dilakukan oleh para buruh pada tanggal 30
oktober dan untuk kedepannya. Sehingga perkara ini merupakan pemidanaan yang dipaksakan
karena bertentangan dengan asas legalitas dan asas tiada pidana tanpa kesalahan
maka sudah selayaknya Majelis Hakim yang Mulia, dengan jeli untuk memeriksa dan
memutus perkara ini dengan menyatakan surat dakwan batal Demi Hukum atau setidak-tidaknya tidak
dapat diterima.
e) Bahwa ke 23 Paduka yang diterdakwakan saat ini mengindikasikan suatu
bagian dari proses pemidanaan yang dipaksakan. Selain bukan merupakan tindak
pidana, dan terdapat berbagai kejanggalan selama proses hukum, seluruh proses
pemidanaan dan dakwaan Penuntut umum patut diduga mengandung motif lain selain
penegakan hukum. maka indikasi adanya motif lain selain dari maksud murni
penegakan hukum, tidak lain adalah untuk mengamankan kebijakan ekonomi jilid IV
pemerintahan Jokowi dengan modus kriminalisasi, agar menimbulkan efek takut
bagi buruh yang ingin memperjuangkan hak-haknya untuk menolak kebijakan yang
begitu merugikan dan memiskinkan para Terdakwa dan buruh pada umumnya. Oleh
karenanya mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat pada perkara aquo
dapat secara jeli menyadari motif ini, dan membuat pertimbangan serta putusan
yang adil untuk mengantisipasi agar agenda pemidanaan yang dipaksakan ini tidak
terus berlanjut;
IV.
PETITUM
Majelis Hakim yang Kami Muliakan,
Sdr. Penuntut Umum yang Kami hormati,
Paduka Buruh dan Pengunjung Sidang yang Kami Muliakan.
Berdasarkan
uraian-uraian yang telah disampaikan dalam keberatan (eksepsi) ini, maka kami
Penasihat Hukum para Terdakwa, mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang memeriksa dan memutus perkara a
quo untuk memberikan putusan :
1.
Menyatakan menerima
keberatan (eksepsi) dari Penasihat Hukum 23 orang Para Pejuang Buruh (
Akhmad
Azmir Sahara Bin Suwaryono dkk) untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan Majelis Hakim perkara aquo pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini.
3. Menyatakan surat dakwaan penuntut umum nomor Reg. Perkara: PDM-30/JKT.PST/02/2016
sebagai dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatalkan atau
setidak-tidaknya tidak dapat diterima;
4. Menyatakan perkara aquo tidak
diperiksa lebih lanjut;
5. Memulihkan harkat martabat,
kehormatan dan nama baik 23
orang Para Pejuang Buruh Ahmad
Azmir Sahara Bin Suwaryono, dkk pada kedudukan
semula ;
6. Membebankan biaya perkara kepada negara;
Demikian
Keberatan (Eksepsi) ini kami sampaikan. Semoga keadilan tetap tegak dan
pengadilan sungguh-sungguh menjadi benteng terakhir pencari keadilan.
Jakarta, 18 April 2016
Hormat
Kami,
TIM
ADVOKASI BURUH DAN RAKYAT (TABUR) TOLAK PP PENGUPAHAN
Marulitua
Rajagukguk, S.H Agung Hermawan, SH Kambusiha, SH
A.Rahman, SH Basrizal, SH Ganto
Almansyah, S.H
Eny Rofi’atul
Ngazizah, S.H Nelson F Saragih, S.H Aura Akhman, S.H
[1] Lihat
Pendapat Adnan Buyung Nasution dalam bukunya berjudul; Demokrasi
Konstitusional. Hal 4-5. Tahun 2011.
[2] Lihat http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151003141023-12-82552/usai-kasus-bg-polisi-dipolitisasi-49-orang-dikriminalisasi/,
tanggal 3 Oktober 2015.
[3] Lihat http://www.jpnn.com/read/2016/04/01/369941/Ketua-KPK:-Ini-Contoh-Pengusaha-Pengaruhi-Pembuat-Kebijakan.
Tanggal 1 April 2016.
[4]Lihat Pasal Pasal 9 ayat 1 UU No. 9 tahun 1998 yang mengatur Bentuk penyampaian pendapat di
muka umum dapat dilaksanakan dengan: a) unjuk rasa atau demonstrasi; b) pawai; c) rapat umum; dan atau d) mimbar bebas.
[6] Lihat http://foto.metrotvnews.com/view/2014/10/19/306944/aksi-seribu-lilin-untuk-presiden-baru.
Relawan melakukan aksi menyalakan lilin dan berdoa bersama di
Bundaran HI, Jakarta, Sabtu (18/10/2014) malam. Aksi tersebut dalam rangka
menyambut dan mendoakan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan
Jusuf Kalla menjelang pengucapan sumpah jabatan serta pelantikan Presiden dan
Wapres masa bakti 2014-2019 yang akan dilaksanakan pada Senin (20/10/2015).
[7] Ibid.
[8] Lihat Pendapat Jan Remmelink dalam bukunya
berjudul; Hukum Pidana, Komentar atas
Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Hal. 15-16.
Tahun 2003.
[9] Gambar
1 menjelaskan tindakan brutalitas dan pengrusakan terhadap mobil komando Serikat Buruh
Transportasi Perjuangan Indonesia (SBTPI) yang dilakukan oleh segerombolan
orang yang memakai kaos biru bagian depan
dengan bertuliskan di dada sebelah kanan turn back crime, dan bagian
belakang bertuliskan “Polisi” diambil dari website; http://www.bantuanhukum.or.id/web/kriminalisasi-sebagai-alat-mematikan-demokrasi/tertanggal
15 februari 2016.
[10] Gambar
2 menjelaskan tindakan brutalitas dan penyiksaan terhadap Terdakwa XI atas nama
Pujo Dewo Ruwet Pambudi yang dilakukan oleh segerombolan orang yang memakai
kaos biru bagian depan dengan
bertuliskan di dada sebelah kanan turn back crime, dan bagian belakang
bertuliskan “Polisi” diambil dari website: http://www.fsp2ki.org/2015/11/jakarta-konfederasi-persatuan-buruh.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar