Jumat, 24 Mei 2013

CATATAN AKHIR TAHUN PERBURUHAN INDONESIA 2012


Indrasari Tjandraningsih - AKATIGA

smallSepanjang tahun 2012, dunia perburuhan dan hubungan industrial di Indonesia dihiasi dinamika yang amat tinggi. Aksi-aksi buruh turun ke jalan-jalan utama dan pusat-pusat pemerintahan di berbagai kota besar di Indonesia menjadi penanda utamanya. Ada tiga hal yang menjadi tuntutan buruh melalui aksi-aksinya yakni kenaikan upah, penghapusan praktik outsourcing tenaga kerja dan tuntutan jaminan sosial.

Tuntutan untuk perbaikan nasib terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran angka 6.0 % – 6.5%  selama lima tahun terakhir, kecuali untuk tahun 2009. Dalam konteks ini kaum buruh  menagih pemerataan hasil pertumbuhan. Aksi buruh di Indonesia melengkapi dinamika buruh di Asia Tenggara. Seperti di Indonesia buruh di Thailand, Malaysia bahkan Singapura bergerak menuntut perbaikan kondisi  dan kesejahteraan yang lebih besar.  Aksi buruh di Indonesia sepanjang tahun ini memperlihatkan dua hal utama yakni lemahnya pemerintah dan menguatnya gerakan buruh.


Lemahnya Pemerintah.
Aksi buruh  bagaikan gebrakan yang membangunkan pemerintah untuk bergerak membenahi berbagai persoalan perburuhan di Indonesia yang selama ini diabaikan. Seluruh jajaran pemerintah dari setingkat menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri hingga para kepala daerah dan kepala dinas instansi terkait dipaksa turun berdialog dengan buruh untuk mencari jalan keluar penyelesaian persoalan.

Pada saat yang sama aksi buruh juga mengirimkan pesan yang amat jelas betapa pemerintah amat lemah dalam menegakkan peraturannya sendiri. Sudah menjadi pengetahuan umum bagaimana pengusaha melanggar ketentuan upah minimum, melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa prosedur dan syarat yang sudah diatur, melakukan tindakan anti serikat dengan memecat para aktivis serikat buruh  dan menerapkan outsourcing tenaga kerja yang tidak sesuai dengan peraturan , dan semua itu terjadi secara massif tanpa tindakan dan sanksi dari instansi yang berwenang.

Berbagai jalur formal yang tersedia untuk meminta perlindungan pemerintah jauh dari efektif dan buruh cenderung terus menjadi pihak yang kalah. Upaya penyelesaian sengketa perburuhan melalui pengadilan hubungan industrial selain memakan waktu dan biaya yang banyak,  juga tercemar korupsi.

Menguatnya Gerakan Buruh
Lemahnya penegakan peraturan dan tidak efektifnya jalur formal memaksa buruh mengambil jalur nonformal dengan mengerahkan kekuatan massa untuk menekan pemerintah agar lebih perduli dan memberikan perlindungan terhadap hak buruh.  Tekanan kekuatan massa terbukti efektif karena membuat pemerintah bergerak untuk memenuhi tuntutan buruh dan pendulum kebijakan bergerak ke arah buruh.  Tuntutan kenaikan upah minimum secara signifikan yang di beberapa provinsi mencapai 40–sekitar rata-rata 40% - dan pengaturan oursourcing tenaga kerja yang lebih ketat, dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Tekanan massa untuk menuntut kenaikan upah dan mengatur outsourcing tenaga kerja, sebagaimana dinyatakan oleh Said Iqbal presiden FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) – serikat buruh terkuat di Indonesia saat ini – yang juga presiden KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia)  hanya merupakan satu tahap dari strategi gerakan buruh yang menggabungkan konsep-lobby-aksi (KLA). Tuntutan kenaikan upah dan pengaturan outsourcing dirumuskan dalam sebuah pemahaman persoalan yang antara lain didasarkan pada hasil penelitian.

AKATIGA telah menghasilkan penelitian mengenai upah layak (AKATIGA-SPN-GARTEKS-FES 2009) dan praktik outsourcing (AKATIGA-FSPMI-FES 2010) yang masing-masing memperlihatkan bahwa upah buruh sektor manufaktur memang masih belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak dan bahwa praktik outsourcing tenaga kerja telah mendiskriminasi, menghilangkan kepastian kerja serta menurunkan kesejahteraan buruh. Kedua hasil penelitian ini digunakan oleh serikat buruh untuk menyusun tuntutan perbaikan upah dan praktik outsourcing. Tuntutan revisi peraturan menteri no 17/2005 mengenai komponen KHL didasarkan pada hasil survey kebutuhan hidup layak yang dilakukan AKATIGA bersama Serikat Pekerja Nasional dan Federasi Garmen dan Tekstil SBSI yang menghasilkan kebutuhan hidup layak sebanyak 8 komponen dan 122 unit kebutuhan sebagai koreksi 7 komponen dan 46 unit kebutuhan yang ditetapkan dalam peraturan menteri di atas.

Tuntutan pengaturan outsourcing tenaga kerja secara ketat juga dibangun berdasarkan hasil penelitian AKATIGA bersama FSPMI. Penelitian ini menemukan terjadinya pelanggaran yang meluas praktik outsourcing tenaga kerja dan kondisi yang amat merugikan buruh outsourcing karena upah yang diterima hanya 75% dari upah buruh tetap meskipun  melakukan pekerjaan yang sama yakni pekerjaan inti di bidang produksi. Selain itu buruh outsourcing juga tidak punya kepastian kerja karena hanya dipekerjakan dalam jangka pendek antara 3 bulan hingga 12 bulan.

Hal ini menunjukkan bahwa gerakan buruh sudah semakin cerdas menyusun strategi advokasi dan tuntutannya dengan menggunakan hasil penelitian yang sahih. Ini berarti strategi penguatan gerakan buruh sudah lebih maju dibandingkan proses penyusunan kebijakan perburuhan yang dibuat oleh pemerintah yang seringkali tidak jelas asal-mulanya. Undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan rencana revisinya yang selalu gagal merupakan contoh penyusunan kebijakan yang tidak jelas basis argumentasinya sehingga mudah dipatahkan dan digugat.
Tampaknya sudah saatnya pemerintah mengambil pelajaran dari gerakan buruh yang mulai memperjuangkan haknya dengan mengacu pada bukti-bukti dan hasil penelitian. Rumusan kebijakan yang menggunakan penelitian yang sistematis dan komprehensif dapat menghasilkan kebijakan yang memiliki basis yang kuat dan pemerintah tidak ragu untuk menerapkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar