Rabu, 08 Mei 2013

PREDIKSI SITUASI PERBURUHAN 2013


Tahun 2012 telah berakhir. Dalam bidang perburuhan, bersatu dan bangkitnya buruh dan serikat   buruh dalam gerakan yang masif, memiliki konsep dan terencana (atau dalam strategi MPBI disebut KLA – Konsep, Lobby, Aksi) adalah catatan penting yang niscaya akan menjadi bagian dari sejarah perburuhan Indonesia. Pada saat yang sama, penggunaan hasil-hasil penelitian sebagai basis advokasi serikat buruh terutama dalam isu upah layak, outsourcingdan BPJS juga makin memperlihatkan kematangan gerakan serikat buruh. Setelah itu semua, apa kiranya yang akan terjadi pada 2013? Isu-isu apa yang akan muncul ke permukaan dan menjadi fokus advokasi? Bagaimana pula dinamika aktor-aktor perburuhan: buruh – serikat buruh, pengusaha – asosiasi pengusaha dan pemerintah?
Belajar dari apa yang telah terjadi dan melihat beberapa rencana kebijakan pemerintah untuk 2013, berikut adalah prediksi AKATIGA –Pusat Analisis Sosial mengenai isu-isu yang akan menjadi fokus para aktor perburuhan dan dinamika actor perburuhan. Tulisan ini sekaligus akan memberikan rekomendasi kepada para pihak mengenai apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi tahun 2013.
Tiga isu utama yang selama ini menjadi fokus utama gerakan serikat buruh yaitu upah layak, outsourcing tenaga kerja dan BPJS masih akan menjadi isu sentral. Selain 3 isu tersebut, isu lain yang sangat mungkin diangkat oleh serikat buruh pada 2013, selain perlindungan TKI, adalah Rumah Layak untuk Rakyat.
Upah Layak
Isu upah layak masih akan menjadi isu sentral, setidaknya karena dua hal. Pertama, tuntutan buruh mengenai komponen KHL sebanyak 86 komponen untuk buruh lajang dan 122 komponen untuk buruh berkeluarga belum terpenuhi. Kedua, adanya kesenjangan upah antar daerah yang begitu tinggi. Sementara itu dari sisi pengusaha, penolakan terhadap kenaikan UMK 2013 yang sangat kuat akan makin mengkristal ketika berhadapan dengan tuntutan komponen KHL, karena pada saat yang sama pengusaha juga dihadapkan pada kenaikan TDL dan BBM yang secara langsung akan meningkatkan biaya produksi dan transportasi.
Selama ini, serikat buruh melalui Dewan Pengupahan di daerah terpaku pada perundingan upah di tingkat Kota/ Kabupaten. Akibatnya kemudian, secara umum tinggi rendahnya UMK sangat ditentukan oleh kekuatan wakil buruh yang duduk di Dewan Pengupahan Daerah. Kekuatan di sini bukan hanya diukur dari kemampuan bernegosiasi, tapi lebih dari itu kemampuan untuk memanfaatkan data-data dari berbagai sumber sebagai bahan untuk menegosiasikan besaran UMK.
Dampak dari perundingan upah yang dilakukan di tingkat Kabupaten/ Kota ini adalah kesenjangan upah antar daerah yang sangat tinggi. Di Jawa Barat misalnya, rata-rata UMK Kab. Bekasi lebih dari 2,5 kali UMK Kab. Majalengka. Sementara itu di Jawa Timur, wilayah yang berbatasan langsung yaitu Kab.Pasuruan dan Kota Pasuruan perbedaan upahnya mencapai Rp 524.200.
Apa implikasi dari perbedaan upah yang tajam ini? Dari sisi pengusaha, sangat mungkin pengusaha akan menghitung ulang biaya produksi dan mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan relokasi industry ke daerah-daerah yang upahnya lebih rendah. Sementara dari sisi buruh, makin tingginya tingkat upah di satu daerah dibandingkan upah di daerah lain akan meningkatkan arus migrasi menuju daerah-daerah dengan tingkat upah yang lebih tinggi.  Sementara situasi ini belum mencapai kesetimbangan, dapat dipastikan bahwa dari sisi buruh, daerah-daerah dengan UMK yang relatif rendah akan terus bergejolak menuntut kenaikan UMK, sementara dari sisi pengusaha akan terus mencari cara untuk menekan biaya produksi. Inilah sebabnya, maka pada 2013, AKATIGA memprediksi bahwa isu upah layak ini masih menjadi isu utama.
Outsourcing Tenaga Kerja
Isu outsourcing tenaga kerja juga masih akan menjadi isu sentral. Persoalan outsourcing tenaga kerja akan makin mendapat perhatian dari serikat buruh karena dampak dari sistem kerja outsourcing mulai disadari oleh buruh dari berbagai kelompok industri. Kalau awalnya perlawanan terhadap outsourcing tenaga kerja muncul dari buruh industri manufaktur, maka pada 2013 ini, buruh dari sektor lain seperti sektor pendidikan, media dan telekomunikasi mulai aktif ikut dalam gerakan melawan praktik outsourcing tenaga kerja. Sementara itu, Permenaker no 19 tahun 2012 masih akan dipersoalkan oleh beberapa kelompok serikat buruh karena dianggap diskriminatif terhadap 5 kelompok pekerjaan yang boleh di-outsource sementara law enforcement terhadap Permenaker 19 tahun 2012 ini akan diawasi secara makin ketat oleh serikat  buruh.
Dari sisi pengusaha, sebenarnya tidak ada perbedaan yang berarti antara Permenaker no 19 Tahun 2012 dengan UU 13 tahun 2003 sehingga dari sisi regulasi tidak terlalu menjadi persoalan. Sekalipun demikian, pengusaha pasti akan mencari cara untuk melakukan efisiensi di tengah pembatasan penggunaan buruh outsourcing. Inilah sebabnya, isuoutsourcing masih akan mewarnai situasi perburuhan 2013.
BPJS
Hingga akhir 2012, pemerintah belum mengeluarkan satupun peraturan pelaksanaan UU BPJS sesuai yang diamanatkan oleh UU tersebut. Hal ini mendorong serikat buruh untuk secara masif melakukan berbagai upaya untuk memastikan pemerintah melakukan tugasnya, sebab menurut Psl. 60 ayat 1 UU no 24 tahun 2011 tentang BPJS, BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan Jaminan Kesehatan pada 1 Januari 2014. Sementara itu BPJS Ketenagakerja-an sudah harus mulai bekerja (menyelenggarakan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Program Jaminan Hari Tua, dan Program Jaminan Kematian) pada 1 Juli 2015.
Isu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyisakan persoalan yang cukup penting karena adanya sekelompok besar serikat  buruh yang secara frontal menolak berlakunya UU BPJS, bahkan telah melakukan upaya boikot dengan rencana penarikan Jaminan Hari Tua (JHT) dari anggotanya yang tersimpan di PT. Jamsostek. Meskipun secara politis maupun ekonomis upaya penarikan JHT itu tidak akan mempengaruhi pemberlakuan UU BPJS, tetapi gerakan tersebut memperlihatkan bahwa gagasan dasar mengenai SJSN dan BPJS sebagai Badan Penyelenggara SJSN belum diterima secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia. Salah satu masalah yang perlu diputuskan secara cepat dan tepat adalah besarnya iuran yang harus dibayarkan oleh peserta jaminan sosial, pengusaha maupun Pemerintah.
TKI dan Rumah Layak untuk Rakyat
Selain isu-isu tersebut di atas, isu lain yang juga akan menjadi perhatian serikat buruh adalah masalah perlindungan TKI dan rumah layak untuk rakyat. Kedua isu ini menjadi pokok perhatian buruh dan serikat buruh terutama karena:Pertama, keduanya menjadi agenda pembahasan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013 yaitu RUU tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan RUU tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Pembahasan di Parlemen adalah momen penting bagi advokasi kebijakan apapun, termasuk dua isu tersebut.Kedua, TKI adalah bagian dari kaum pekerja dengan persoalan-persoalan yang selama ini belum mendapatkan perhatian secara cukup dari pemerintah termasuk kasus-kasus hukum yang dialami oleh TKI di luar negeri. Ketiga, isu Rumah Layak untuk Rakyat akan menjadi salah satu agenda perjuangan serikat buruh karena pemerintah (cq. Kementerian Perumahan Rakyat) terbukti belum mampu bekerja secara optimal. Penyerapan anggaran yang sangat rendah di Kementerian itu pada 2012 di satu sisi, dan kebutuhan dasar rakyat (termasuk buruh) untuk hidup layak (termasuk memiliki/ mengakses rumah yang layak huni), bertemu dalam isu ini. Menurut laporan Seknas Fitra (www.properti.kompas.com) Kementerian Perumahan Rakyat memiliki anggaran sebesar Rp 5,928 triliun dalam APBNP 2012. Namun demikian, penyerapan pada semester satu hanya Rp 110 miliar atau 1,9 % terhadap APBNP. Fitra melansir, rendahnya realisasi anggaran terulang seperti tahun lalu. Rata-rata Kementerian tersebut hanya menyerap anggaran kurang dari 20%. Maka 2013 akan menjadi awal bagi Serikat  buruh untuk mengadvokasi isu Rumah Layak untuk Rakyat, terutama melalui perubahan regulasi yang memungkinkan buruh memperoleh kemudahan untuk memiliki/ mengakses rumah yang layak huni.
Apa yang harus dilakukan?
Belajar dari keberhasilan dan kegagalan gerakan serikat buruh pada 2012 dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, strategi yang sama yaitu mendorong lahirnya kebijakan yang berbasis data/ riset (research based policy) tampaknya harus terus menjadi agenda utama serikat  buruh. Selain dengan memperkuat tim peneliti di tubuh organisasi serikat buruh, cara lain yang telah dilakukan dan terbukti efektif adalah membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian seperti AKATIGA-Pusat Analisis Sosial. Dengan cara ini, maka pada 2013 dapat diharapkan akan makin banyak kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah yang lebih pro buruh, lebih pro rakyat.
Rina Herawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar